‘Wajarlah Manusia, Bukan Nabi, Boy!’ Benarkah Para Rasul Terbebas dari Dosa?

Jika manusia dianggap wajar berbuat salah, apakah para nabi benar-benar suci dari kekhilafan? Ataukah ‘tidak berdosa’ berarti ‘tidak pernah keliru’?”
Ilustrasi. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Media sosial pernah dihebohkan oleh video seorang remaja yang diduga mencuri telepon genggam. Namun, yang menjadi bahan pembicaraan bukan peristiwa pencuriannya, melainkan ucapan seseorang dalam video itu yang menegur dengan nada khas, “Wajarlah manusia, bukan nabi, Boy!”

Kalimat ini segera viral, diulang-ulang dalam berbagai konteks lucu-lucuan, sindiran, bahkan renungan.

Meski muncul secara spontan, ungkapan itu memantik pertanyaan serius. Jika manusia dianggap wajar berbuat salah, apakah para nabi benar-benar suci dari kekhilafan? Ataukah ‘tidak berdosa’ berarti ‘tidak pernah keliru’?”

Baca: Apakah Allah Pernah Tersenyum?

Antara dosa dan kekeliruan nabi

Dalam tradisi Islam, para nabi dan rasul diyakini memiliki derajat khusus yang disebut ‘ishmah, yaitu perlindungan dari dosa besar dan maksiat yang menodai kemuliaan kenabian. Konsep ini tidak berarti mereka mustahil melakukan khaṭa’ insani (kesalahan manusiawi), tetapi setiap kekeliruan mereka selalu disertai petunjuk dan koreksi langsung dari Allah.

Al-Qur’an mencatat beberapa kisah yang menunjukkan sisi manusiawi para nabi. Nabi Adam As, misalnya, pernah melanggar larangan Allah di surga karena terbujuk rayuan Iblis. Namun, kesalahannya segera disertai tobat yang tulus.

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al-A‘rāf: 23)

Begitu pula Nabi Yunus As yang meninggalkan kaumnya sebelum mendapat izin dari Allah. Dalam perut ikan, Nabi Yunus pun berdoa penuh penyesalan:

لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 87)

Kisah-kisah ini bukan untuk menurunkan martabat para nabi, melainkan menegaskan sisi kemanusiaan mereka. Kesempurnaan para rasul justru tampak pada kejujuran mereka dalam bertobat, bukan pada ketiadaan ujian atau godaan.

Baca: Takdir dan Penerimaan dalam Lagu ‘Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan’ Karya Bernadya

Kedekatan, bukan kesetaraan

Ulama tasawuf menafsirkan makna ‘ishmah bukan semata bebas dari dosa, melainkan sebagai bentuk kedekatan spiritual antara hamba dan Tuhannya. Dalam Syarḥ Al-Ḥikam, Syekh Abu Al-Ḥasan Al-Ḥijāzī menjelaskan:

حَقِيقَةُ قُرْبِكَ مِنَ اللهِ هِيَ مَشَاهَدَتُكَ لِقُرْبِهِ مِنْكَ، فَإِذَا زَالَ حِجَابُ الْوَهْمِ لَمْ يَبْقَ إِلَّا اللهُ وَلَا شَيْءَ مَعَهُ

“Hakikat kedekatanmu dengan Allah adalah ketika engkau menyaksikan kedekatan-Nya kepadamu. Jika hijab khayalan telah sirna, maka yang ada hanyalah Allah, dan tiada sesuatu pun bersama-Nya.”

Penjelasan ini berakar pada pandangan Ibnu ‘Aṭa’illah As-Sakandari, yang menulis:

وُصُولُكَ إِلَى اللهِ وُصُولُكَ إِلَى الْعِلْمِ بِهِ، وَإِلَّا فَجَلَّ رَبُّنَا أَنْ يَتَّصِلَ بِهِ شَيْءٌ أَوْ يَتَّصِلَ بِشَيْءٍ

“Sampainya kamu kepada Allah adalah sampainya kamu kepada ilmu tentang-Nya. Sebab Tuhan kita Mahasuci dari bersambung dengan sesuatu, atau sesuatu bersambung dengan-Nya.”

Artinya, “sampai kepada Allah” bukan berarti manusia dapat berhubungan langsung dengan Zat-Nya, melainkan memahami dan menyadari kebesaran-Nya melalui pengetahuan, iman, dan pengalaman spiritual. Dalam konteks ini, para nabi mencapai puncak ma‘rifah (pengenalan mendalam kepada Allah) bukan karena bebas dari sifat manusiawi, tetapi karena Allah membersihkan hati mereka dari segala penghalang selain Dia.

As-Sayyid Muḥammad Al-Ahdal menambahkan dalam syarahnya:

إِذَا وَصَلَ الْعَبْدُ إِلَى الْعِلْمِ بِاللّٰهِ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى دَلِيلٍ، لِأَنَّهُ غَرِقَ فِي مَعْرِفَةٍ تَمْنَعُهُ مِنَ الْاِدِّعَاءِ

“Ketika seseorang sampai kepada ilmu tentang Allah, ia tidak lagi membutuhkan dalil. Ia tenggelam dalam kesadaran bahwa Allah terlalu agung untuk diketahui atau dibatasi.”

Dengan kata lain, para nabi bukan makhluk tanpa cela, melainkan manusia yang seluruh kesadarannya tertuju kepada Allah. Itulah yang menjadikan setiap tindakannya selaras dengan kehendak Ilahi.

Baca: Allah Memaafkan, Tapi Kadang tak Melupakan

Manusia, salah, dan jalan kembali

Ungkapan “Wajarlah manusia, bukan nabi, Boy!” menjadi refleksi menarik di tengah budaya digital yang mudah menghakimi. Sering kali publik lebih cepat menuding daripada memahami. Padahal, Islam sendiri mengakui bahwa salah satu ciri manusia adalah kemampuannya untuk salah dan kembali.

Nabi Muhammad Saw bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan, yang membedakan manusia biasa dari para nabi bukan pada “tidak pernah berbuat salah”, tetapi pada cara mereka menyikapi kesalahan. Nabi adalah teladan dalam pengakuan dan penyesalan yang tulus, bukan sosok yang steril dari ujian.

Syekh Al-Junaid Al-Baghdadi bahkan menegaskan, mustahil ada hubungan langsung antara Zat Allah yang tak terbatas dengan makhluk yang terbatas:

مَتَى يَتَّصِلُ مَنْ لَا نِدَّ لَهُ بِمَنْ لَهُ نِدٌّ؟ هُوَ مُسْتَحِيلٌ، إِلَّا بِرِفْقٍ مِنَ اللهِ لَا يُدْرَكُ بِالْوَهْمِ

“Kapan bisa tersambung yang tak memiliki bandingan dengan yang memiliki bandingan? Itu mustahil, kecuali dengan kelembutan Allah yang tak terjangkau oleh khayalan.”

Kesadaran akan keterbatasan diri justru menjadi bentuk tertinggi dari pengenalan kepada Allah. Orang yang merasa sempurna malah jauh dari hakikat ketuhanan, karena seolah menandingi kesucian Allah.

Baca: Malam dan Siang, Mana yang Lebih Dulu Allah Ciptakan?

Pengakuan, bukan perbandingan

Viralnya kalimat “Wajarlah manusia, bukan nabi, Boy!” bisa dibaca lebih dalam dari sekadar bahan lelucon. Kalimat itu menyinggung dua hal penting. Pertama, pengakuan bahwa manusia pasti memiliki sisi lemah. Kedua, bahwa hanya para nabi yang dijaga dari dosa agar menjadi teladan, bukan pembanding.

Dalam perspektif Islam, kesalahan bukan akhir dari segalanya. Dari kesalahan, manusia justru diberi ruang untuk mengenal dirinya dan, lewat itu, mengenal Tuhannya.

Setiap kekeliruan bisa menjadi pintu menuju pencerahan, selama disertai kejujuran untuk bertobat. Sebab, yang membuat para nabi mulia bukan karena mereka tak pernah salah, tetapi karena mereka tahu jalan pulang.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.