Ikhbar.com: Gelombang aksi massa mengepung Gedung DPR RI di Jakarta maupun DPRD di berbagai daerah dalam beberapa waktu terakhir. Gerakan ini kemudian mengerucut pada manifesto yang dikenal sebagai “17+8 Tuntutan Rakyat”.
Namun, niat luhur penyampaian aspirasi tersebut kerap diwarnai bentrokan yang menimbulkan kerusakan fasilitas publik. Lebih tragis lagi, sejumlah aksi bahkan menelan korban jiwa, baik akibat ulah provokator maupun respons represif aparat keamanan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah demonstrasi sekadar euforia kebebasan berpendapat, ataukah ada landasan etika dan aturan main dalam perspektif Islam?
Meskipun demonstrasi lahir dari sistem demokrasi modern, Islam sebagai agama yang paripurna menekankan seperangkat aturan moral yang membimbing setiap tindakan kolektif, termasuk aksi massa.
Menyuarakan kebenaran bukan hanya soal hak, tetapi juga tentang adab dan tanggung jawab.
Baca: Bendera One Piece di Bawah Merah Putih: Telaah Fikih Kebangsaan di Era Kritik Simbolik
Demonstrasi dalam timbangan syariat
Basis teologis utama dalam menyuarakan kebenaran dan mencegah kemungkaran tertuang dalam konsep amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan).
Konsep ini menjadi pilar penting dalam menjaga tatanan sosial yang adil dan beradab. Allah Swt berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 110).
Sejarah Islam mencatat berbagai bentuk protes sosial. Perlawanan Nabi Musa As kepada Firaun menjadi simbol “perlawanan beradab” dalam menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa tiran.
Selain itu, praktik menegur penguasa zalim juga ditegaskan Rasulullah Muhammad Saw dalam sabdanya:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat keadilan di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud).
Dari landasan ini jelas bahwa menyampaikan aspirasi atau kritik adalah tindakan sah dan bahkan bernilai jihad, selama dilakukan dengan cara yang ma’ruf (baik dan pantas).
Baca: Hukum Menjarah Rumah Pejabat menurut MUI
Adab dalam aksi
Islam tidak membiarkan aksi massa berjalan tanpa arah. Ada rambu fikih yang harus dipatuhi agar demonstrasi tidak menimbulkan kerusakan.
Pertama, niat dan tujuan luhur. Aksi harus didasari niat tulus memperjuangkan kemaslahatan (kebaikan bersama), bukan pelampiasan emosi, kepentingan kelompok, atau agenda tersembunyi. Niat menjadi penentu nilai sebuah perbuatan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, tidak menimbulkan kerusakan. Ini adalah prinsip fundamental dalam fikih yang terangkum dalam kaidah la dharar wa la dhirar (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain). Aksi anarkis, perusakan fasilitas publik, atau pembakaran ban yang mengganggu masyarakat jelas dilarang. Allah Swt menegaskan kebencian-Nya terhadap perusakan di muka bumi:
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 77).
Ketiga, menghormati hak orang lain. Jalan adalah milik bersama. Menutup total akses jalan, mengganggu aktivitas ekonomi, atau melanggar hak warga lain yang tidak terlibat aksi termasuk bentuk kezaliman. Rasulullah Saw menasihati para sahabat tentang etika di jalan. Salah satu intinya adalah menyingkirkan gangguan. Beliau bersabda:
…وَإِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ
“…dan menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Muslim).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa menimbulkan gangguan di jalan adalah perbuatan tercela.
Keempat, menghindari fitnah dan ujaran kebencian. Kritik harus disampaikan secara konstruktif, berbasis data, dan dijauhkan dari caci maki, fitnah, maupun hoaks yang merusak persatuan. Al-Qur’an memberikan panduan jelas:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok)…” (QS. Al-Hujurat: 11).
Baca: Cara Mengkritik Presiden Menurut Islam
Jihad lisan dan batasannya
Jika semua adab di atas terpenuhi, demonstrasi dapat dipahami sebagai bentuk ibadah sosial. Ia menjadi manifestasi jihad bil-lisan (jihad dengan ucapan) di era demokrasi, sebuah upaya kolektif untuk menegakkan keadilan dan menyuarakan aspirasi umat.
Namun, semangat perjuangan tidak boleh melampaui batas syariat. Allah Swt melarang perusakan di muka bumi:
وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 205).
Ayat ini menjadi pengingat tegas untuk membedakan antara “mengkritik” dan “menghancurkan”. Para sahabat Nabi Saw telah memberi teladan terbaik dalam menegur pemimpin. Mereka melakukannya dengan bijak, penuh hormat, dan di ruang yang tepat, bukan dengan kekerasan atau pemberontakan buta.
Demonstrasi dalam Islam adalah medium perjuangan yang terhormat, namun terikat koridor akhlak. Aksi dengan niat luhur dan cara beradab menjadi wujud nyata tanggung jawab keumatan. Sebaliknya, aksi yang mengabaikan etika dan menimbulkan kerusakan justru merusak tujuan mulia itu sendiri.