Oleh: Dr. H. Ahmad Alamuddin Yasin, M.H. (Dosen STIT Buntet Pesantren)
UMAT Islam menghadapi tantangan baru dalam beragama di tengah dunia yang makin plural dan terbuka: bagaimana tetap teguh dalam prinsip syariah, tetapi luwes menghadapi keberagaman budaya yang tumbuh di masyarakat?
Sebagian orang memilih pendekatan yang kaku: menolak tradisi, memurnikan agama secara literal, dan menilai bid’ah segala hal yang tak ditemukan di masa awal Islam. Sementara sebagian lainnya justru terjebak dalam sinkretisme yang kehilangan arah.
Di antara dua kutub itulah, muncul jalan tengah yang diwariskan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, yakni Al-Fiqh Al-Wasathi, fikih yang moderat, kontekstual, dan rahmatan lil alamin.
Konsep ini sejalan dengan pernyataan Al-Qur’an:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang pertengahan (wasath), agar kamu menjadi saksi atas manusia…” (QS. Al-Baqarah: 143).
Al-Fiqh Al-Wasathi bukanlah kompromi, melainkan keseimbangan antara prinsip dan realitas. Ini penting, terutama ketika kita berbicara tentang praktik bermazhab dalam lingkungan budaya yang beragam, seperti Indonesia.
Fikih: ijtihad yang kontekstual, bukan mutlak Ilahi
Fikih bukan wahyu, tapi hasil pemahaman ulama terhadap wahyu. Maka fikih bisa berbeda, tergantung mazhab, zaman, tempat, dan situasi. Dalam hadis Nabi Muhammad Saw:
إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim (mujtahid) berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia salah, ia tetap mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa perbedaan hasil ijtihad adalah keniscayaan, bukan penyimpangan. Karena itu, kita tidak boleh memonopoli kebenaran dalam fikih atau memaksakan satu pendapat saja.
Mayoritas umat Islam Indonesia menganut mazhab Syafi’i. Namun, penerapannya sangat memperhatikan konteks lokal. Banyak tradisi yang lahir dari budaya Nusantara, seperti tahlilan, selametan, ziarah kubur, atau maulid, yang dinilai sebagian kalangan sebagai tidak islami, justru memiliki akar dalam fikih mazhab terbesar itu.
Contohnya, ulama besar dalam mazhab Syafi’i, Imam Nawawi, dalam Al-Majmu’ menjelaskan:
وَيُسْتَحَبُّ قِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنَ القُرْآنِ وَالدُّعَاءِ وَالتَّصْدُّقُ عَنِ الْمَيِّتِ
“Disunahkan membaca sesuatu dari Al-Qur’an, berdoa, dan bersedekah untuk orang yang telah wafat.”
Inilah dasar dari tahlilan dan doa bersama di masyarakat kita. Fikih moderat tidak sekadar membolehkan, tapi juga mendorong praktik keagamaan yang memperkuat spiritualitas dan harmoni sosial.
Islam dan budaya: menyaring, bukan menghapus
Islam bukan datang untuk menghancurkan budaya, tapi menyucikan dan mengarahkannya. Nabi Saw sendiri tidak menghapus seluruh tradisi Arab, tapi memilih dan menyesuaikannya.
Prinsip ini dicontohkan pula oleh Wali Songo, para dai besar yang menyebarkan Islam di Nusantara. Mereka tidak frontal menghapus adat, melainkan mengislamkan nilai-nilai lokal. Wayang, gamelan, hingga tradisi sedekah bumi dimanfaatkan untuk menyampaikan tauhid dengan cara yang bisa diterima masyarakat.
Maka, Al-Fiqh Al-Wasathi hari ini adalah kelanjutan dari warisan dakwah yang menghargai budaya sebagai potensi, bukan ancaman. Dengan catatan: budaya tidak boleh bertentangan dengan akidah, akhlak, dan nilai dasar Islam.
Moderasi dalam bermazhab
Sayangnya, di era media sosial, muncul narasi-narasi keagamaan yang intoleran terhadap perbedaan ijtihad. Bahkan sesama Muslim saling menyesatkan hanya karena perbedaan pendapat dalam hal furu’iyyah (cabang agama).
Padahal, para ulama dahulu sangat menghargai perbedaan. Imam Syafi’i berkata:
رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
“Pendapatku benar, tetapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah, tetapi mungkin benar.”
Ini adalah semangat tawadhu’ (rendah hati) ilmiah yang menjadi inti fikih wasathiyah (moderat). Maka, bermazhab Syafi’i tidak harus fanatik, dan menghargai mazhab lain bukan berarti relativisme. Kita bisa kukuh dalam mazhab, sekaligus lapang dalam menyikapi perbedaan.
Dalam pendekatan fikih wasathiyah, para ulama kontemporer banyak menggunakan maqashid syariah atau tujuan-tujuan luhur dari syariat Islam, yakni:
1. hifzh ad-din (Menjaga agama)
2. hifzh an-nafs (Menjaga jiwa)
3. hifzh al-‘aql (Menjaga akal)
4. hifzh an-nasl (Menjaga keturunan)
5. hifzh al-mal (Menjaga harta)
Budaya dan adat lokal dinilai positif jika mendukung maqashid ini. Maka, praktik seperti musyawarah kampung, gotong royong, atau tradisi keagamaan yang membangun harmoni, semuanya adalah bentuk penguatan nilai-nilai Islam dalam balutan budaya.
Menjadi Muslim Indonesia yang baik bukan berarti harus menghapus identitas budaya. Justru, Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin adalah Islam yang mampu berdiri kokoh di tengah perbedaan, sambil tetap menghargai kearifan lokal sebagai rahmat.
Al-Fiqh Al-Wasathi adalah jembatan antara syariah dan realitas. Ia mengajarkan kita untuk beragama dengan ilmu, bermazhab dengan bijak, dan berbudaya dengan akhlak. Di tengah gempuran ideologi ekstrem dan liberal sekaligus, fikih inilah yang menjadi penuntun jalan tengah: jalan keseimbangan.
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًۭا وَلَا تَفَرَّقُوا۟
“Berpeganglah kamu semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103). []