Ikhbar.com: Pada mulanya tidak ada standar khusus yang bisa menentukan kualitas sebuah hasil seni kaligrafi. Genre Kufi, misalnya, hanya berpatokan pada kepantasan sudut dan geometris yang dibangun.
Kondisi itu kemudian mengakibatkan kelahiran versi yang sangat beragam. Sampai akhirnya sebuah standar khusus yang diterima masyarakat luas muncul dari tangan Abu Ali Muhammad bin Ali bin Muqla atau lebih dikenal sebagai Ibnu Muqla, seorang ahli kaligrafi dan wazir di Kekhalifahan Abbasiyah.
“Ibnu Muqla adalah orang pertama yang menyusun prinsip-prinsip kaligrafi,” tulis Arab News, dikutip pada Rabu, 18 Oktober 2023.
Baca: Sejarah Kaligrafi Islam: Misteri Kufi
Insinyur penulisan
Sistem aksara yang distandarisasi Ibnu Muqla disebut Al-Khatt al-Mansub. Terobosan ini menandai lahirnya konsistensi visual dalam sistem penulisan Arab.
Dalam teorinya, Ibnu Muqla menekankan bahwa sebuah tulisan Arab Islam harus mencerminkan hubungannya dengan yang Ilahi. Sistem yang ia kembangkan juga memastikan huruf-huruf dari setiap naskah bisa tampak proporsional satu sama lain.
Ibnu Muqla melakukannya dengan membentuk titik belah ketupat yang dibuat dengan ujung qalam (pena) kaligrafer. Dia juga menentukan batas panjang alif dan lingkaran sebagai satuan pengukuran semua huruf.
Ahli kaligrafi Arab Saudi, Nasser Al-Salem menjelaskan, sistem kodifikasi itu diterapkan Ibnu Muqla pada enam aksara yang dikenal sebagai Al-Aqlam al-Sitta, yakni Naskh, Muhaqqaq, Rayhani, Thuluth, Riqa dan Tawqi. Perbedaannya, tinggi alif dalam Muhaqqaq berukuran delapan titik, Thuluth (tujuh titik), dan Tawqi (enam titik).
“Anda bisa menyebut Ibnu Muqla sebagai insinyur penulisan,” kata dia.
“Ibnu Muqla mengumpulkan semua data mengenai teknik penulisan. Dialah yang meletakkan semua informasi ini di satu tempat sehingga dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya,” sambungnya.

Akhir yang tragis
Memang, lanjut Al-Salem, tidak ada satu pun baris dari karya Ibnu Muqla yang bertahan. Namun, pengaruhnya terhadap kaligrafi sangat besar. Dia menghadirkan akurasi matematis pada reproduksi huruf dan meningkatkan estetika kaligrafi melalui desain geometris.
Sayangnya, Ibnu Muqla wafat salam peristiwa yang tragis. Tangan kanan dan lidahnya dipotong setelah meluapkan protes kepada penguasa saat itu. Ibnu Muqla meninggal di penjara pada tahun 940 M.
“Yang paling mendalam dari warisan Ibnu Muqla adalah kehidupannya yang tragis, dan hal itu mempengaruhi kita semua secara emosional sebagai ahli kaligrafi,” kata seniman dan kaligrafer Irak, Hassan Massoudy.
Menurut Massoudy, semua orang mengakui Ibnu Muqla telah menggambarkan dan memperkuat aturan geometris yang disederhanakan untuk bentuk huruf. Dia adalah satu-satunya tokoh terkenal hingga abad ke-10.
“Di antara banyak ahli kaligrafi lainnya, dia tetap yang paling terkenal. Hal ini memberi saya harapan sehubungan dengan rasa hormat yang diberikan masyarakat kepada para pembuat kaligrafi,” katanya.
Baca: Twitter Ganti Logo, Bagaimana Cara Menulis Huruf ‘X’ dalam Bahasa Arab?
Para penerus dan penyempurna
Beberapa abad setelah kematian Ibnu Muqla, karya-karyanya kemudian disempurnakan oleh Ibnu Al-Bawwab dan Yaqut Al-Musta’simi. Keduanya menghabiskan sebagian besar hidup di Bagdad.
Ibnu Al-Bawwab menghasilkan sekitar 64 eksemplar Al-Qur’an. Karyanya yang paling terkenal menjadi satu-satunya yang hingga kini masih disimpan di Perpustakaan Chester Beatty di Dublin, Irlandia. Karya itu menjadi salah satu Al-Qur’an paling awal yang ditulis di atas kertas dengan menggunakan aksara Naskh.

Ibnu Al-Bawwab juga merupakan sosok yang mengambil sistem aksara proporsional Ibnu Muqla dan secara artistik dan meningkatkannya melalui penggunaan ritme dan gerakan yang anggun.
“Meskipun huruf-huruflnya teratur, tidak ada sesuatu pun yang bersifat mekanis di dalamnya. Itulah inti dari kontribusi Ibnu Al-Bawwab yang menggairahkan pada seni kaligrafi,” kata ahli sejarah seni, David Storm Rice.
“Dia mencapai aliran yang anggun. Naskahnya tetap menjaga alfabet yang sistematis dan proporsional. Kelihatannya mudah untuk ditiru, tetapi sebenarnya sangay menantang,” katanya.
Sedangkan Al-Musta’simi, ahli kaligrafi besar abad pertengahan telah menyempurnakan Al-Aqlam al-Sitta pada abad ke-13. Dia kemudian dikenal sebagai Sultan al-Kuttab (Sultan Kaligrafer). Al-Musta’simi menjabat sebagai sekretaris khalifah Abbasiyah terakhir dan selamat dari pemecatan Bagdad oleh bangsa Mongol pada tahun 1258.
Al-Musta’simi adalah orang yang mengganti qalam yang berpotongan lurus dengan potongan miring sehingga bisa menghasilkan naskah yang lebih halus dan elegan. Menariknya, Al-Musta’similah yang menjadi inspirasi bagi para pembuat kaligrafi setelah kehancuran Bagdad dan berakhirnya zaman keemasan Islam.