Ikhbar.com: Di lingkungan pesantren, filsafat masih kerap dicurigai. Ilmu ini dianggap bisa merusak akidah, menimbulkan kebingungan, bahkan dituduh menyesatkan. Stigma semacam itu terus bertahan, diwariskan dari cerita ke cerita, disebarkan melalui tafsir sempit terhadap teks-teks klasik, dan sering kali bersumber dari ketidaktahuan tentang hakikat filsafat itu sendiri.
Padahal, menurut Dr. Sururi Maghfuri Abdullah, pengajar dan peneliti filsafat, justru ilmu ini dapat memperkuat keimanan santri, bukan sebaliknya.
“Rasionalitas tanpa spiritualitas adalah kekeringan jiwa, sementara spiritualitas tanpa rasionalitas adalah kebodohan,” kata Doktor Uyi, sapaan akrabnya, mengutip pendapat Imam Al-Ghazali, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Filsafat sebagai Alat” di Ikhbar TV, dikutip Rabu, 23 Juli 2025.

Baca: Seikat Pertalian Islam dan Filsafat
Pengajar filsafat di Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon (SSC) itu menjelaskan bahwa filsafat bukan sekadar ilmu debat atau permainan logika, melainkan alat untuk membentuk cara berpikir yang sehat, kritis, dan mendalam. Dalam kehidupan santri yang akrab dengan teks, tradisi, dan dogma, kemampuan berpikir semacam ini sangat penting untuk menghindari sikap mental yang pasif dan tertutup.
Filsafat, menurutnya, adalah ilmu yang menjadikan seluruh aspek kehidupan sebagai objek pemikiran. Mulai dari urusan keimanan hingga persoalan sosial seperti kemiskinan, kekerasan, bahkan isu lingkungan, semua dapat dikaji melalui pendekatan filosofis. Oleh karena itu, bagi santri yang hidup dalam masyarakat yang kompleks, filsafat bisa menjadi fondasi penting untuk memahami realitas secara utuh tanpa kehilangan akhlak maupun keimanan.
“Ketika santri tidak dibekali filsafat, nanti dia akan gagap menghadapi realitas sosial,” ujarnya.
Sebagai Direktur Institute for Research and Consulting of Education (IRCEDU), Doktor Uyi bukan hanya berbicara secara teoritis. Ia tumbuh di lingkungan pesantren dan hidup dalam tradisi, tetapi tetap mendalami filsafat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai santri.
Ia bercerita bahwa ketertarikannya pada filsafat berawal dari pertanyaan masa kecil yang tampak sederhana, tetapi menyimpan daya refleksi mendalam. Saat berusia sekitar delapan tahun, ia pernah bertanya kepada ibunya: “Ibu, ini perabotan dapur, siapa yang memberi nama dan kenapa dinamakan begitu?” Ibunya menjawab, “Yang memberi nama itu Nabi Adam.” Jawaban itu tertanam dalam ingatannya. Kelak, ketika membaca ayat Al-Qur’an tentang pengajaran nama-nama, ia menyadari bahwa dirinya tengah melangkah ke pintu gerbang filsafat.
Baca: Pentingkah Ilmu Filsafat dan Psikologi bagi Santri? Begini Ulasan Kiai Taufik Gedongan
Kedekatannya dengan buku Dunia Sophie (1991) memperkuat minatnya. Buku itu menjadi pengantar yang efektif dalam memahami filsafat melalui pendekatan naratif. Dari sanalah ia mulai menelusuri pemikiran para filsuf besar, baik dari Timur maupun Barat, hingga akhirnya menemukan jalur intelektualnya sendiri.
Menurut Doktor Uyi, tradisi pesantren sejatinya telah kaya dengan semangat filsafat, hanya saja tidak disebut demikian. Pelajaran seperti ushul fiqh, manthiq (logika), dan balaghah (retorika) sesungguhnya telah melatih daya pikir dan logika santri. Namun, tanpa kesadaran filosofis, ilmu-ilmu tersebut bisa kehilangan daya reflektifnya.
Karena itu, ia mendorong agar pesantren mulai mengakui dan mengembangkan kurikulum filsafat secara sadar.
“Dengan syarat, tersedia guru yang kompeten, referensi yang memadai, dan sikap terbuka terhadap dialog,” katanya.
Menrut Doktor Uyi, filsafat memang tidak menjanjikan jawaban instan. Ia tidak membentuk dogma baru, tetapi menyediakan alat untuk berpikir lebih dalam, kritis, dan jujur. Dalam dunia yang berubah cepat dengan informasi melimpah tapi pemahaman dangkal, santri yang dibekali filsafat akan lebih siap, yakni tidak kaku, tidak fanatik, dan tetap berpijak pada akhlak serta keyakinan.
“Belajar filsafat harus disertai akhlak. Di pesantren, khidmat (pengabdian) itu penting,” ujarnya.