Ikhbar.com: Di banyak pesantren, pengalaman membaca kerap berhenti pada teks-teks klasik yang diwariskan turun-temurun. Sementara itu, dunia bergerak jauh lebih cepat daripada ritme pembelajaran di kelas. Santri hari ini bukan sekadar membutuhkan pemahaman fikih dan akhlak, tetapi juga kemampuan membaca perubahan sosial, perkembangan teknologi, dan arah kebijakan negara.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Majalengka, Jawa Barat, Dr. KH Maman Imanulhaq menekankan perlunya penguasaan tiga “kitab” agar santri tidak tertinggal.
“Yang harus dibaca anak-anak muda terutama di pesantren itu tiga kitab. Pertama, kitab kuning. Tapi, harus ada juga kitab putih dan kitab abu-abu,” ujar Kiai Maman, sapaan karibnya, dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Menapaki Suluk Al-Mizan Kiai Maman” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 24 November 2025.

Baca: Jejak Kertas Eropa di Kitab Kuning Nusantara, Dari Merek hingga Harga
Kiai Maman menjelaskan bahwa gagasan tersebut lahir dari pengalamannya yang panjang dengan dunia pesantren dan realitas sosial. Menurutnya, banyak santri memiliki modal kuat, namun kurang terlatih membaca dinamika di luar lingkungan pesantren.
“Pertama, kitab kuning. Ini adalah dasar yang tidak tergantikan. Kitab kuning membentuk kerangka moral, adab, dan panduan nilai,” kata sosok yang juga mengemban amanat sebagai anggota DPR RI tersebut.
Kitab kuning memuat ratusan tahun hikmah para ulama. Tradisi literasi klasik ini menjaga santri dari ekstremitas, melatih kepekaan membaca konteks, dan menanamkan adab dalam setiap tindakan.
“Tanpa kitab kuning, arah perjalanan keilmuan akan rapuh,” katanya.
Meski begitu, Kiai Maman menegaskan perlunya pengetahuan lain di luar teks klasik. Dari pemikiran itu lahir istilah “kitab putih”, yang merujuk pada pengetahuan modern seperti filsafat, teori sosial, kajian budaya, dan berbagai disiplin baru yang dibutuhkan untuk memahami perkembangan dunia.
“Santri harus juga membaca filsafat maupun teori-teori transformasi sosial,” katanya.
Baca: Menjaga Kepak Sayap Keseimbangan Pesantren
Kitab putih memberi ruang bagi santri untuk memadukan nilai klasik dengan kenyataan kontemporer. Melalui pengetahuan ini, santri diajak melihat bagaimana peradaban bergerak, bagaimana perubahan terbentuk, dan bagaimana ilmu modern dapat memperkaya cara pandang mereka terhadap teks-teks warisan ulama.
Kesadaran tersebut membuat pesantren mampu menyiapkan generasi yang melek teknologi, akrab dengan isu global, dan siap berada dalam gelanggang intelektual.
“Lalu, ketiga, ada ‘kitab abu-abu’. Istilah ini merujuk pada wilayah kebijakan, ekonomi, politik, struktur industri, dan segala hal yang menentukan arah negara,” ungkapnya.
Kiai Maman mengingatkan bahwa selama ini banyak santri menjalani hidup dengan baik, namun jauh dari proses pengambilan keputusan.
“Sebesar-besarnya kita hari ini, tidak ada peran kita dalam pembuatan mobil, termasuk pembuatan sekrupnya,” kelakar Kiai Maman.
Menurutnya, kitab abu-abu penting karena kebijakan negara memengaruhi kehidupan banyak orang, mulai dari alokasi anggaran, regulasi pendidikan, arah pembangunan, hingga program kesejahteraan. Tanpa memahami bagaimana keputusan dirumuskan, santri hanya menjadi penonton dalam perubahan yang menyentuh masa depan mereka sendiri.
Bagi Kiai Maman, tiga kitab tersebut adalah satu kesatuan. Kitab kuning memperkuat nilai, kitab putih memperluas wawasan, dan kitab abu-abu menyiapkan santri untuk berperan dalam ruang publik. Pesantren yang ingin tetap relevan perlu memberi ruang bagi ketiganya.
Baca: Seikat Pertalian Islam dan Filsafat
Kiai Maman juga menegaskan bahwa pesantren tidak cukup hanya menjadi ruang penanaman moral. Pesantren harus membangun kemandirian, meningkatkan keterampilan, dan menyediakan akses pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan hari ini.
“Jangan hanya sekadar idealis,” katanya. Santri perlu menguasai kemampuan yang memungkinkan mereka bersaing dan memberikan kontribusi nyata.
Sistem tiga kitab yang ia tawarkan menegaskan pandangan luas tentang masa depan pesantren. Kiai Maman mendorong santri agar tidak berhenti sebagai penjaga tradisi, tetapi menjadi pembaca zaman dan pelaku perubahan.
“Dengan tiga kitab itu, santri tumbuh sebagai pribadi saleh sekaligus pemikir, pekerja, pembuat kebijakan, dan pemimpin yang memahami realitas secara menyeluruh,” pungkas Kiai Maman.