Ikhbar.com: Penampilan salah satu kesenian Cirebon, berokan, turut memeriahkan peringatan Haul Ke-14 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Acara yang dihelat Komunitas Gusdurian Cirebon itu berlangsung di Aula Utama Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, pada Jumat, 2 Februari 2024, malam.
Penasihat Sanggar Mekar Budaya Cirebon, Jainuddin mengatakan, berokan merupakan seni pertunjukan rakyat yang tersebar di desa-desa di sepanjang pesisir utara Jawa Barat, khususnya di Cirebon.
“Awal nama berokan diambil dari kata asal Bahasa Arab ‘barakahan,’ yang artinya keselamatan. Kesenian ini berkembang sekitar abad 15 Masehi, yang konon diyakini diciptakan Pangeran Cakrabuana,” ujar dia.
Pangeran Cakrabuana merupakan putra Prabu Siliwangi dari Nyi Subang Larang. Dia mempunyai dua adik, yakni Nyai Mas Rara Santang dan Pangeran Raja Sagara. Ketiga tokoh ini dipercaya sebagai pendiri Caruban Nagari, cikal bakal Cirebon hari ini.
Baca: Ratusan Tokoh Hadiri Puncak Haul Ke-14 Gus Dur di Cirebon
Aksi pertunjukan
Pertunjukan berokan mengandalkan alat utama berupa topeng berbentuk kepala binatang. Topeng tersebut terbuat dari bahan kayu yang dilengkapi kain sebagai penutup tubuh.
Berokan biasa dimainkan seorang dalang yang ditemani satu orang juru laden yang bertugas menjadi lawan bicara bagi si berokan.
Di dalam pentas, berokan akan mengeluarkan suara khasnya yang terdengar mirip trompet. Suara tersebut berasal dari benda kecil yang diletakkan di dalam mulut dalang. Pentas pertunjukan yang kini relatif jarang ditemukan itu diiringi alunan musik khas yang dimainkan oleh beberapa orang personel berupa dog-dog atau kendang, kening (semacam saron), dan kecrekan.
Junaidi menjelaskan, di dalam penampilan topeng berokan tercermin nilai-nilai kebudayaan masyarakat Cirebon yang hidup penuh keberagaman.
“Kesenian ini dulunya sering ditampilkan banyak orang dari latar belakang budaya yang berbeda-beda. Berokan biasa ditemukan saat pesta panen atau tandur. Tujuannya agar hasil panen dapat melimpah dan juga sebagai penolak bala,” katanya.
Baca: Haul Gus Dur sebagai Hari Raya Gerakan Kebangsaan
Diajarkan Gus Dur
Nilai-nilai tersebut, lanjut Jainuddin, begitu dekat dengan teladan, spirit, gerakan, serta ajaran mendiang Gus Dur, yakni terkait sikap dinilai yang ideal di tengah masyarakat yang penuh keberagaman.
“Saya kira nilai topeng berokan dengan apa yang diajarkan dan digerakkan Gus Dur sama. Keduanya memuat nilai-nilai keberagaman,” katanya.
“Zaman dulu, Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon juga menghadapi tantangan masyarakat yang beragam, yang dimulai dari pesirir Lemahwugkuk (nama sebuah kecamatan di Cirebon),” sambung Jainuddin.
Menurutnya, Islam tidak berkembang sendirian. Kemasyhuran ajaran Islam, terutama di Cirebon, terus tumbuh karena mampu bersanding dengan masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang tradisi dan budaya.
“Oleh karena itu, Cirebon di masa lalu dikenal pula dengan nama ‘Caruban,’ yang artinya ‘carub‘ atau campur,” ungkapnya.
Baca: Ini Bedanya Hadrah dengan Kasidah
Penerus ajaran Walisongo
Bagi Jainuddin, Gus Dur adalah guru bangsa. Gus Dur tidak lahir untuk menciptakan ajaran baru, tetapi hanya mengangkat, memperluas, dan menjaga fondasi yang pernah dibangun Walisongo.
“Maka tak heran jika nilai-nilai Gus Dur ini ada sangat diterima oleh masyarakat Cirebon. Selain itu, menurut saya, Gus Dur tidak hanya pejuang di bidang agama, tetapi juga dalam kemanusiaan dan budaya,” katanya.
Atas dasar itulah, Jainuddin mengaku sangat antusias ketika diminta tampil dalam peringatan Haul Ke-14 Gus Dur.
“Kami mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan misi yang sama dengan Sang Guru Bangsa,” tutupnya.