Ikhbar.com: Rombongan keluarga santri baru berduyun-duyun menuju kediaman kiai dan kantor pengurus untuk mendaftarkan putra-putrinya di pondok pesantren. Pemandangan ini lazim ditemukan jelang tahun ajaran baru, yakni tepat setelah ujian akhir disambung pengumuman kelulusan di setiap sekolah.
Pesantren di Indonesia biasanya terdiri dari jenjang yang berbeda. Ada yang menyediakan pendidikan untuk tingkat menengah, ada pula yang membuka pengajaran sejak tingkat dasar.
Bagi anak-anak yang baru lulus SD, perkenalannya dengan dunia pesantren terasa bakal lebih menantang. Pasalnya, mereka yang cenderung tidak pernah jauh dari orang tua, kali ini harus mulai bisa hidup mandiri tanpa pendampingan keluarga.
Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Buntet Cirebon, KH Ahmad Alamuddin Yasin mengatakan, para peserta didik yang baru memasuki pesantren biasanya akan mengalami culture shock atau perasaan tertekan serta terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru. Perasaan demikian menjadi faktor terbesar yang menyebabkan santri baru tidak betah dan berpotensi putus mondok.
Oleh karena itu, Kiai Alam, sapaan karibnya, memberikan tips agar santri baru betah di pondok pesantren.
“Pertama, santri baru tidak boleh bengong atau melamun. Ia harus didampingi oleh pengurus agar beraktivitas, entah dengan pengenalan lingkungan atau diajak bercanda agar merasa senang,” katanya, Sabtu, 8 Juli 2023.
Sebab, menurut Kiai Alam, faktor utama santri baru tidak kerasan di pondok pesantren berhubungan dengan proses adaptasi dengan lingkungan yang sama sekali baru. Di pesantren, santri harus mandiri dan tidak boleh mengandalkan orang lain. Proses inilah yang sering kali menjadikan santri baru merasa gagap dan berujung lebih memilih untuk menyendiri, kemudian merajuk ingin pulang.
Faktor lain yang mempengaruhi, imbuh dia, adalah orang tua. Tak jarang ada orang tua yang lebih kolokan ketimbang anaknya. Karena dalih kangen anak, orang tua terlalu sering menjenguk anaknya di pesantren.
“Sehingga anak yang tengah beradaptasi dengan lingkungan baru menjadi buyar kembali,” ujar dia.
Tak kalah penting adalah membatasi penggunaan gadget. Meskipun dalam beberapa hal penggunaan gadget adalah positif, akan tetapi anak-anak biasanya cenderung memanfaatkannya untuk bermain gim dan hiburan lainnya. “Jika di pesantren menghabiskan waktu untuk bermain games, khawatir akan menganggu konsentrasi belajar dan kondisi mentalnya,” pungkas dia.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Firdaus Buntet Cirebon, Kiai Qomarul Huda membenarkan kondisi tersebut. Ia menambahkan, pendekatan spiritual juga dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan santri baru yang tidak betah. “Biasanya kami akan memberikan air minum yang telah diperlakukan secara khusus, yaitu dengan doa-doa dan proses tertentu,” ujar sosok yang karib disapa Kiai Omang tersebut.