Ikhbar.com: Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) mengaku tengah merancang dan mulai menjalankan sejumlah program pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan yang mengatasnamakan pesantren.
Koordinator Seknas JPPRA, Kiai Yoyon S. Amin mengatakan, saat ini pihaknya masih berfokus pada penguatan jaringan dengan menjalankan konsolidasi dan komunikasi antaranggota.
“Ke depannya, kita akan menjalankan banyak program, seperti merilis pernyataan sikap, menggelar halaqah, bahtsul masail, seminar-seminar, penerbitan buku, penyuluhan, dan lain sebagainya,” katanya, dalam Hiwar Ikhbar #11 bertema “Tempa Akhlak di Pesantren Ramah Anak” bersama Ikhbar.com pada Ahad, 23 Juli 2023, kemarin.
Menurut Kiai Yoyon, dalam waktu dekat, JPPRA juga akan menggelar event bersama dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2023.
“Pelaksanaanya sekitar Oktober atau November mendatang. Mohon doanya,” kata dia.
Baca: Menegaskan Kembali Posisi Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Ramah Anak
Saat ini, sudah ada puluhan pesantren yang tergabung ke dalam JPPRA. Mereka berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Lampung.
“Kami selalu terbuka untuk menyambut setiap pesantren yang memiliki komitmen dalam upaya perlindungan anak-anak untuk bergabung. Pendaftaran bisa dilakukan melalui website yang kami sediakan di www.jppra.id, maupun secara langsung lewat pesantren anggota jaringan yang tersebar di banyak wilayah,” ungkapnya.
“Untuk bergabung, tidak ada syarat tertentu. Terkecuali harus memiliki komitmen kuat terhadap upaya pencegahan kekerasan di pesantren,” sambung sosok yang juga mengemban amanat sebagai Ketua Majelis Riayah Santri Pondok Pesantren Ketitang Cirebon tersebut.
Mengkampanyekan otonomi tubuh
Di antara program yang sudah mulai dijalankan JPPRA adalah pembekalan santri baru di sejumlah pondok pesantren. Selain memberikan motivasi agar para santri betah di pesantren, mereka juga dibekali pemahaman tentang pentingnya memahami dan menjaga area pribadi demi terhindar dari perilaku pelecehan dan kekerasan seksual.
“Para santri penting untuk memahami bahwa ada area pribadi yang tidak diperbolehkan untuk diintervensi oleh orang lain. Hal ini dibutuhkan demi meminimalisasi tindakan pelecehan seksual,” katanya.
Sebenarnya, lanjut Kiai Yoyon, pemahaman tersebut tidak hanya penting dimiliki oleh para santri di pesantren, tetapi juga wajib diketahui seluruh anak di sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan lainnya.
“Di sini, teman-teman santri harus memahami adanya private part (bagian pribadi) yang tidak boleh disentuh atau bahkan sekadar dilihat oleh orang lain. Jika hal itu terjadi, maka para santri harus berani menghindar atau segera melaporkan kepada pengurus pesantren,” katanya.
Baca: Batas Ketaatan dan Kontak Fisik Santri Putri dengan Ustaz Laki-laki
Menurutnya, problem pelecehan maupun kekerasan seksual terkadang muncul atas pemakluman yang tidak pada tempatnya. “Menyentuh area pribadi pada tubuh seseorang dianggap biasa saja jika hal itu dilakukan oleh kawan sejenis, padahal itu sangat berpotensi terjadinya pelecehan seksual yang berkelanjutan,” katanya.
Dengan pemaparan ini, dia berharap para santri mampu menjaga dirinya dengan baik, tidak hanya berlaku di dalam pesantren, tetapi sebagai modal jangka panjang setelah terjun langsung ke masyarakat.