Ikhbar.com: Seorang filsuf dari Inggris, Jonathan Birch memperingatkan potensi perpecahan sosial yang bisa terjadi akibat perbedaan pandangan tentang kesadaran pada artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan. Beberapa orang percaya bahwa AI di masa depan bisa memiliki perasaan, sementara sebagian lainnya yakin hal tersebut mustahil terjadi.
Dalam sebuah wawancara menjelang pertemuan penting di San Francisco pekan ini, Birch yang juga profesor di London School of Economics mengatakan bahwa perbedaan pandangan soal kesadaran AI bisa menjadi pemicu konflik, baik antarnegara maupun di dalam keluarga.
Baru-baru ini, akademisi dari berbagai belahan dunia memprediksi bahwa AI yang memiliki emosi dan kesadaran bisa saja tercipta pada 2035. Menurut Birch, jika ini terjadi, akan muncul perdebatan sengit soal apakah program komputer layak mendapatkan hak seperti manusia atau hewan.
“Saya khawatir masyarakat akan terpecah karena ini,” ujarnya kepada The Guardian pada Senin, 18 November 2024.
Baca: Tafsir QS. Ar-Rahman Ayat 1-4: Kecerdasan AI vs Intelegensi Hakiki
Perdebatan ini mengingatkan pada film-film fiksi ilmiah seperti AI (2001) karya Steven Spielberg atau Her (2013) garapan Spike Jonze, yang bercerita tentang upaya manusia memahami perasaan AI.
Birch juga membandingkannya dengan isu hak-hak hewan yang memiliki perbedaan tajam antarnegara, misalnya antara India yang cenderung vegetarian dengan Amerika Serikat (AS) yang merupakan salah satu konsumen daging terbesar dunia.
Konflik ini bahkan bisa merambah ke ranah keluarga. Relasi emosional seseorang dengan chatbot atau avatar AI yang meniru kerabat yang telah meninggal, misalnya, dapat memicu ketegangan dengan anggota keluarga lain yang yakin bahwa hanya makhluk hidup yang memiliki kesadaran.
Birch, yang sebelumnya aktif dalam advokasi kesadaran hewan, menyebutkan bahwa kesadaran AI bukan lagi sekadar fiksi ilmiah. Penelitian yang melibatkan akademisi dari universitas-universitas ternama seperti Oxford dan Stanford mendesak perusahaan teknologi untuk mengevaluasi apakah sistem AI mereka memiliki kemampuan merasakan kebahagiaan atau penderitaan.
Namun, tidak semua pakar sependapat. Ahli ilmu saraf, Anil Seth menilai kesadaran AI masih jauh dari kenyataan, bahkan mungkin mustahil. Ia menekankan bahwa kecerdasan dan kesadaran adalah dua hal yang berbeda.
“Kecerdasan adalah kemampuan bertindak benar di waktu yang tepat, sementara kesadaran melibatkan pengalaman subjektif seperti emosi dan pikiran,” jelasnya.
Baca: ‘Kritik’ Nabi Musa terhadap AI dan Masa Depan Dunia
Di sisi lain, peneliti Oxford, Patrick Butlin memperingatkan bahwa jika AI dengan kesadaran tercipta, ada risiko AI mencoba melawan manusia. Ia menyarankan perlambatan pengembangan AI sampai evaluasi mendalam dilakukan.
Sayangnya, hingga kini, perusahaan teknologi besar seperti Meta, OpenAI, dan Google belum memberikan respons terkait desakan untuk mengevaluasi kesadaran AI.
Dalam perkembangan terbaru, model AI seperti Chat GPT-4 menunjukkan kemauan untuk mengambil risiko “rasa sakit” demi mendapatkan lebih banyak poin dalam permainan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah AI benar-benar mampu “merasakan”?
Meski masih menjadi perdebatan, para pakar sepakat bahwa perlunya regulasi dan evaluasi terhadap perkembangan AI semakin mendesak untuk mencegah konflik di masa depan.