‘Pulang Sendiri’, Puisi Buya Husein yang Menggetarkan Hati

Dr. KH Husein Muhammad atau Buya Husein saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar, bertajuk "Quatrain Buya Husein" di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Ikhbar.com: Ada cara berbeda yang dipilih Dr. KH Husein Muhammad untuk berbicara tentang kematian. Bukan dengan ancaman, bukan pula dengan retorika menakutkan, melainkan dengan puisi.

Dalam episode terbaru Sinikhbar | Siniar Ikhbar berjudul “Quatrain Buya Husein” di Ikhbar TV, sosok yang masyhur dengan sapaan Buya Husein itu membacakan sajak berjudul “Pulang Sendiri.” Sebuah puisi yang sunyi tetapi dalam, pelan tapi mengguncang.

Menurut Buya Husein, puisi itu terinspirasi dan lahir dari sebuah pernyataan filsuf asal Mesir, Ahmad Badawi yang mengurai makna dari kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” dengan cara yang sangat eksistensial. Yakni, tanpa kehendak, manusia datang ke dunia; dan tanpa kehendak pula, ia akan pergi meninggalkannya.

“Saya merenung, apa yang harus kita bawa?” ucap Buya Husein, dikutip Rabu, 9 Juli 2025.

Baca: Puisi sebagai Jalan Sunyi para Sufi

“Kalau begitu, saya mencoba menulis puisi tentang proses perjalanan manusia yang sangat unik dan kompleks, yang ada di dalam diri manusia itu sendiri,” lanjut pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Arjawinangun Cirebon, tersebut.

Buya Husein (kanan) saat menjadi narasumber dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar, bertajuk “Quatrain Buya Husein” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Pulang Sendiri

Kelahiran dan kematian
datang silih berganti
di sini tak ada yang abadi

Esok atau lusa
atau kapan pun saja
kau akan kembali ke asal
tak ada apa pun dan siapa pun
yang bisa menghentikannya
kau, aku, dan siapa pun tak berdaya

Dan kau pulang sendirian,
seperti saat kau datang

Kau akan tinggalkan cinta,
kesenangan,
kenikmatan,
keindahan,
kecantikan,
ketampanan,
keperkasaan,
kebanggaan,
kekayaan,
kemegahan

Kau juga akan tinggalkan
kekasih,
anak-anak,
para sahabat,
pengagum,
para pembela
semuanya tak ada lagi
dan tak bersama lagi

Luka hati,
kesengsaraan,
hiruk-pikuk,
kebisingan,
caci maki,
sumpah serapah,
fitnah,
tak akan kau rasakan lagi
dan tak akan kau dengar lagi

Lalu kau pun hilang
ditelan gelombang zaman
duniamu menjadi sepi,
senyap,
sendiri
dan tubuhmu kembali jadi tanah

“منها خلقناكم وفيها نعيدكم ومنها نخرجكم تارة أخرى”

Dari tanah Aku menciptakanmu,

di dalam tanah kamu Aku kembalikan,
dan dari tanah Aku mengeluarkanmu lagi

Dan kau akan bercerita
perjalanan hidupmu
dan segalanya
kelak di hadapan Dia
Yang Mencipta,
Yang Maha Segala

Semoga Dia menyambutnya dengan senyum.

Baca: Mengenal Piramida Pola Pikir Manusia dan Responsnya terhadap Pemahaman Agama

Puisi ini terdengar akrab dan halus di telinga, tetapi sangat sarat makna. “Pulang Sendiri” bukan sekadar pengingat bahwa manusia akan mati, melainkan sekaligus cermin dari konsep fana’ (lenyapnya diri) sebuah inti dari ajaran tasawuf. Dalam fana’, keberadaan manusia menjadi tidak penting dibandingkan kesadarannya akan Tuhan sebagai asal sekaligus tujuan.

Buya Husein menulis puisi semacam ini, katanya, justru ketika kegelisahan sudah tak bisa disalurkan melalui artikel atau forum-forum akademik.

“Ketika keresahan sudah melewati batas, saya menulis puisi,” ujarnya.

Puisi, menurut Buya Husein, menyimpan kekuatan untuk menyampaikan makna secara padat, halus, dan menyentuh. Bukan semata ekspresi estetik, melainkan bentuk dialektika rohani yang menyasar hati.

“Puisi menyasar mereka yang bisa membaca ‘kode’. Sering kali saya menulis untuk orang-orang yang memang terbiasa menangkap makna dengan cara itu,” lanjutnya.

Bait demi bait dalam puisi ini membawa kita pada pemahaman eksistensial yang lebih dalam. Frasa “kau akan kembali ke asal, pulang sendiri” bukan sekadar indah, tetapi menggugah kesadaran tentang kefanaan. Tentang keterasingan. Tentang kematian yang tak bisa ditawar.

Secara struktural, puisi ini memakai gaya khas sufistik yang ringkas, langsung, dan tidak menjelaskan secara berlebihan. Puisi ini memberi ruang pada pembaca untuk menafsir, bukan menghakimi. Tidak mengajari, tapi mengantar. Dalam tradisi tasawuf, hal seperti ini disebut hikmah (kebijaksanaan) yang tak selalu bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan.

Puisi “Pulang Sendiri” juga bisa dibaca dalam konteks QS. Thaha ayat 55: “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakanmu, kepadanyalah Kami akan mengembalikanmu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkanmu pada waktu yang lain.” Buya  Husein memang menyelipkan ayat tersebut di dalam puisi, bukan untuk mendakwahi, tetapi sebagai resonansi spiritual.

Kematian, dalam puisi Buya Husein, bukan musibah, melainkan jalan pulang.

Dengan sajak ini, Buya Husein tidak hanya membacakan puisi, tetapi juga menghidupkannya. “Pulang Sendiri” memberi makna baru pada perbincangan tentang kematian. Bukan sebagai momok, melainkan momentum refleksi.

Dalam dunia yang sibuk menimbun pencitraan dan lari dari kefanaan, puisi ini seolah menampar dengan lembut, semua akan kembali ke asal, semua akan pulang sendiri.

Dan dalam keheningan kata itu, ajakan untuk hidup dengan lebih arif, lebih jujur, lebih mencintai, menjadi gema yang pelan tapi tak terlupa.

Simak obrolan selengkapnya di sini:

 

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.