Ikhbar.com: Tren S-Line Challenge belakangan ini tengah marak di berbagai platform media sosial. Terinspirasi dari drama Korea berjudul S-Line, tantangan ini bermula dari kisah seorang tokoh yang memiliki kemampuan melihat garis merah di atas kepala seseorang. Garis tersebut melambangkan jumlah hubungan intim yang pernah dilakukan, serta keterhubungan dengan pasangan yang telah digauli.
Visualisasi ini kemudian diadaptasi ke dunia maya dan menjadi tantangan viral yang memancing rasa penasaran sekaligus kontroversi di kalangan warganet.
Meski berasal dari fiksi, tren di media sosial ini dipandang sebagai bentuk normalisasi seks bebas dan menjadikan kemaksiatan sebagai bahan hiburan. Karena alasan itulah, S-Line Challenge dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang secara tegas menjaga kehormatan dan melarang keras tindakan memamerkan dosa.
Menjadikan hubungan intim sebagai bahan hiburan digital bukan hanya merendahkan martabat diri, tetapi juga mencederai batas-batas syariat. Perilaku semacam ini membuka ruang bagi normalisasi maksiat yang seharusnya ditutup rapat, bukan diumbar untuk ditertawakan atau dipuji.
Baca: Bangga Bermaksiat, Enggak Bahaya Tah?
Pamer dosa
Dalam Islam, pamer dosa dikenal dengan istilah al-mujāharah bil-ma‘ṣiyah, yakni menampakkan kemaksiatan secara terang-terangan tanpa rasa malu atau takut kepada Allah Swt.
Perilaku ini tergolong dosa besar karena merusak tatanan moral dan membuka jalan bagi normalisasi kemungkaran di tengah masyarakat. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
“Seluruh umatku akan dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan (berbuat dosa).“ (HR. Bukhari)
Imam An-Nawawi dalam Syarh Ṣaḥīḥ Muslim menjelaskan bahwa al-mujāharah mencakup perbuatan dosa yang disebarluaskan, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Ini termasuk mereka yang bangga dengan maksiat, menceritakan kemaksiatan secara terbuka, atau menyebarkannya dalam bentuk konten hiburan.
Ancaman bagi orang yang memamerkan kemaksiatan juga disebutkan dalam QS. An-Nur: 19. Allah Swt berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Menurut Imam At-Thabari dalam Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, ayat ini mengandung ancaman keras terhadap siapa pun yang menyukai dan mendorong tersebarnya fāḥisyah (kekejian) di tengah masyarakat beriman.
Ia menjelaskan, yang dimaksud dengan yuḥibbūna an tasyī‘a al-fāḥisyah bukan hanya pelaku zina, tetapi juga siapa saja yang senang, mendukung, atau menyebarluaskan perbuatan keji, baik berupa zina, gosip, fitnah, maupun konten negatif lainnya.
Imam At-Thabari menegaskan bahwa sekadar rasa senang dalam hati atas tersebarnya maksiat, meskipun tidak ikut menyebarkannya secara langsung, sudah cukup untuk memasukkan seseorang ke dalam cakupan ancaman ayat ini.
Sementara itu, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafātiḥ al-Ghayb menafsirkan QS. An-Nur: 19 dengan menegaskan bahwa sekadar menyukai tersebarnya kekejian di tengah masyarakat sudah tergolong dosa besar. Artinya, seseorang bisa mendapatkan murka Allah bukan hanya karena lisannya yang menyebarkan aib atau tangannya yang mengetik fitnah, tetapi juga karena hatinya yang menikmati kabar keburukan orang lain.
Imam Ar-Razi menekankan bahwa Allah mengetahui apa yang tersembunyi di balik hati manusia, dan justru di situlah letak ujian terberatnya. Ayat ini, menurutnya, menegaskan bahwa menormalisasi kemaksiatan, menyukai kerusakan moral, atau memberi ruang bagi tersebarnya perbuatan keji merupakan bentuk dukungan terhadap kebatilan yang dapat mendatangkan azab, baik di dunia maupun akhirat.
Baca: Doa Pembersih Dosa
Dampak moral dan sosial
Tren S-Line Challenge secara tidak langsung mengikis rasa malu pelakunya. Padahal, rasa malu adalah bagian penting dari iman, sebagaimana disebutkan dalam hadis:
ٱلْـحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِّنَ ٱلْإِيمَانِ
“Malu adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)
Jika rasa malu sebagai benteng moral telah hilang, maka yang terjadi adalah normalisasi dosa, khususnya zina. Tren ini secara tidak langsung menormalisasi zina sebagai bagian dari ekspresi digital yang bahkan dirayakan melalui tantangan viral. Padahal, dalam QS. Al-Isra: 32 Allah Swt berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.”
Dari sisi pembentukan karakter, tren ini berpotensi merusak fondasi ‘iffah (kesucian diri) yang menjadi bagian dari identitas remaja Muslim.
Menurut Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam ad-Dā’ wa ad-Dawā’, kemaksiatan yang dipamerkan akan mengeraskan hati, menumpulkan nurani, dan mendatangkan murka Allah.
Di usia remaja yang masih rentan terhadap pengaruh luar, normalisasi perilaku menyimpang ini dapat membentuk generasi yang permisif terhadap dosa dan kehilangan arah nilai.
Lebih jauh, tren semacam ini memicu efek domino terhadap budaya digital umat Islam. Ketika dosa dijadikan konten lucu, inspiratif, atau bahkan membanggakan, maka ruang digital berubah menjadi arena pembenaran terhadap penyimpangan moral.
Di era digital yang serba terbuka, media sosial menjadi ruang ekspresi yang luas. Namun, penggunaannya tetap menuntut tanggung jawab moral yang utuh.
Islam tidak melarang penggunaan media sosial, tetapi mendorong agar setiap aktivitas digital dibingkai dengan nilai-nilai etika yang memberi manfaat dan edukasi.
Etika bermedia sosial menuntut penggunanya untuk menjaga kehormatan diri, tidak menyebarkan aib—baik pribadi maupun orang lain, tidak memancing syahwat melalui konten vulgar, serta tidak memamerkan keburukan yang seharusnya ditutupi.