Ketika Gunung Bertasbih

Kata “jabal” (gunung) dalam bentuk tunggal dan jamak muncul sekitar 40 kali dalam 32 surah yang berbeda.
Ilustrasi gunung. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Gunung memiliki peran vital dalam ekosistem alam. Ia dianggap berfungsi sebagai penyeimbang bumi, penyimpan air, pelindung keanekaragaman hayati, serta pengatur iklim dan cuaca di sekitarnya.

Dalam perspektif Islam, gunung bukan sekadar bagian dari ciptaan Tuhan yang agung, tetapi juga menjadi tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya yang berulang kali disebut dalam Al-Qur’an.

Kosakata “gunung” dalam berbagai bentuknya, seperti “jabal” dan “jibal“, disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 40 kali. Penyebutan ini tidak hanya sebagai deskripsi alam, tetapi juga sarat makna simbolik dan teologis. Mulai dari peran gunung sebagai pasak bumi, saksi ketaatan alam, hingga simbol kehancuran di Hari Kiamat.

Dalam Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Imam Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi mencatat bahwa kata “jabal” dalam bentuk tunggal dan jamak muncul sekitar 40 kali dalam 32 surah yang berbeda. Keberulangan ini menunjukkan bahwa gunung dalam Al-Qur’an bukan sekadar fenomena geografis, melainkan juga ayat atau tanda kekuasaan Allah Swt yang patut direnungi manusia.

Baca: Doa dan Adab Naik Gunung menurut Islam

Pasak bumi

Gunung adalah pasak bumi. Demikian para ilmuwan menyebutnya. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar, melainkan hasil dari berbagai penelitian. Dalam QS. An-Naba: 7, Allah Swt. berfirman:

وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

“dan gunung-gunung sebagai pasak?”

Dalam Tafsir Al-Munir, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa keberadaan gunung-gunung yang menjulang bukanlah tanpa tujuan. Gunung diciptakan sebagai penopang bumi agar tetap mantap, tidak berguncang, dan stabil meskipun terdapat berbagai aktivitas manusia di atasnya.

Syekh Az-Zuhaili mengurai makna ini melalui pendekatan ilmu balaghah, yakni retorika dalam bahasa Arab klasik, dengan menyoroti kata “awtad“. Menurutnya, frasa tersebut bermakna pasak-pasak atau tiang-tiang.

Kata tersebut, lanjutnya, merupakan bentuk jamak dari “watad” yang merujuk pada benda yang ditancapkan ke tanah untuk mengikat tali-tali kemah.

Dari makna tersebut, Syekh Az-Zuhaili menyamakan fungsi gunung dengan pasak tenda yang menjaga struktur agar tetap berdiri kokoh. Gunung, menurutnya, berperan sebagai pengikat alami yang menstabilkan bumi, sebagaimana pasak menjaga kemah tetap tegak dan tidak roboh.

Pembahasan serupa juga terdapat dalam QS. Luqman: 10. Allah Swt. berfirman:

خَلَقَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۗ وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيْمٍ

“Dia menciptakan langit tanpa tiang (seperti) yang kamu lihat dan meletakkan di bumi gunung-gunung (yang kukuh) agar ia tidak mengguncangkanmu serta menyebarkan padanya (bumi) segala jenis makhluk bergerak. Kami (juga) menurunkan air hujan dari langit, lalu Kami menumbuhkan padanya segala pasangan yang baik.”

Dalam Tafsir Al-Maraghi, Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan bahwa Allah Swt menancapkan “rawasi” atau gunung-gunung di permukaan bumi sebagai penyeimbang dan penopang agar bumi tidak terus-menerus berguncang. Gunung diibaratkan sebagai pasak raksasa yang tertancap kuat untuk mencegah bumi dari pergeseran dan ketidakstabilan akibat gerakan alami di dalamnya.

Syekh Al-Maraghi menyebut bahwa struktur bumi terdiri atas lapisan-lapisan yang bisa bergerak.

Jika tidak ada gunung yang berfungsi sebagai penahan alami, permukaan bumi akan mudah goyah, sehingga menyulitkan kehidupan manusia dan makhluk lainnya.

Penjelasan ini tidak hanya menggunakan pendekatan kebahasaan, tetapi juga mempertimbangkan fakta geologis yang kini dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan modern.

Gunung, menurut Syekh Al-Maraghi, adalah bagian dari desain Tuhan yang presisi dalam menciptakan bumi yang layak huni. Ia bukan sekadar elemen geografis, melainkan unsur vital dalam menjaga keseimbangan dan ketenangan bumi.

Baca: Arab Saudi Buka Jalur Pendakian Gunung Saksi Kisah Cinta Laila-Majnun

Simbol ketundukan

Selain fungsi nyata bagi keseimbangan bumi, gunung juga dianggap sebagai simbol ketundukan kepada Sang Pencipta. Hal ini sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Ahzab: 72. Allah Swt. berfirman:

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.”

Imam Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf menafsirkan bahwa pokok kandungan QS. Al-Ahzab: 72 terletak pada penolakan langit, bumi, dan gunung terhadap amanah yang Allah tawarkan.

Dalam penjelasannya, Imam Zamakhsyari menekankan bahwa penolakan tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena langit, bumi, dan gunung hanyalah makhluk tak berakal yang terbatas dalam memahami perintah Allah secara konseptual. Karena tidak memiliki akal, ketiganya menyadari keterbatasan diri dalam menerima dan menunaikan tanggung jawab besar itu.

Penolakan mereka justru mencerminkan kesadaran akan kelemahan dan ketidaksiapan menghadapi konsekuensi amanah tersebut. Berbeda halnya dengan manusia. Sebagai makhluk hidup yang dianugerahi akal, manusia memilih untuk menerima amanah itu.

Dalam konteks ini, kemampuan manusia untuk berpikir dan memahami membuatnya dianggap layak secara potensi untuk mengemban tanggung jawab ilahiah.

Namun, pilihan ini sekaligus menegaskan perbedaan mendasar antara manusia dengan ciptaan lain seperti langit, bumi, dan gunung, yang tunduk sepenuhnya pada ketentuan Allah Swt tetapi tidak dibebani amanah secara moral.

Baca: Scroll dan Zikir: Menjaga Keseimbangan Spiritual di Era Digital

Bertasbih dan berzikir

Di beberapa ayat, gunung juga disebutkan sebagai makhluk yang dapat bertasbih dan berzikir. Salah satunya dalam QS. Sad: 18. Allah Swt. berfirman:

اِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهٗ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْاِشْرَاقِۙ

“Sesungguhnya Kami telah menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) pada waktu petang dan pagi.”

Dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, Imam At-Thabari menyebut bahwa ayat ini menunjukkan Allah Swt telah menundukkan gunung-gunung agar ikut bertasbih bersama Nabi Dawud As sebagai bentuk kemuliaan dan keistimewaan kenabian.

Gunung-gunung tersebut bertasbih secara nyata ketika Nabi Dawud membaca tasbih atau kitab Zabur. Penafsiran ini menekankan aspek mukjizat, bahwa benda-benda tak bernyawa seperti gunung pun dapat diperintah Allah untuk melakukan zikir secara langsung.

Sementara dalam Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa gunung-gunung dalam ayat ini diperintahkan Allah untuk ikut bertasbih secara hakiki, bukan sekadar simbolik.

Penjelasan ini menunjukkan bahwa seluruh alam semesta, termasuk benda mati seperti gunung, memiliki bentuk penghambaan dan ketaatan tersendiri yang mungkin tidak dipahami manusia secara inderawi. Fenomena ini juga mencerminkan kemuliaan Nabi Dawud As, yang doanya menggugah alam sekitar untuk ikut menyucikan Allah.

Baca: Doa Selamat dari Letusan Gunung dan Bencana Lainnya

Dari kokoh menjadi bulu

Meski disimbolkan sebagai makhluk yang kuat dan kokoh, nyatanya gunung akan menjadi seperti bulu yang beterbangan saat Hari Kiamat tiba. Peristiwa ini digambarkan dalam QS. Al-Qariah: 5. Allah Swt. berfirman:

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِۗ

“dan gunung-gunung seperti bulu yang berhamburan.”

Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan keadaan gunung-gunung saat Hari Kiamat. Saat itu, makhluk yang dianggap besar dan kokoh itu akan berubah menjadi seperti bulu wol yang tercerai-berai.

Ia memaknai perubahan ini sebagai bentuk penghilangan kekuatan dan bobot gunung secara total. Gunung tidak lagi menjadi objek yang kokoh dan berat, melainkan berubah menjadi benda ringan yang tak mampu menetap di satu tempat.

Perumpamaan dengan “al-‘ihn al-manfusy” menurut Imam At-Thabari mengandung pesan simbolik, yakni gunung akan menjadi ringan seperti kapas yang diurai, yang mudah ditiup angin dan beterbangan ke segala arah. Ini menunjukkan bahwa keseimbangan alam yang dahulu dijaga oleh gunung akan runtuh, karena gunung kehilangan fungsi dan sifat dasarnya sebagai pasak bumi.

Imam At-Thabari juga mengaitkan ayat ini dengan gambaran Hari Kiamat secara menyeluruh. Ia menyebut bahwa fenomena ini merupakan bagian dari rangkaian peristiwa besar yang menggambarkan betapa dahsyatnya kekacauan kosmik saat Kiamat terjadi.

Dalam tafsirnya, kehancuran gunung bukan hanya peristiwa fisik, tetapi juga simbol lenyapnya struktur dunia yang selama ini dianggap stabil. Bumi dan seluruh isinya, termasuk gunung yang dianggap tak tergoyahkan, akan tunduk pada kekuasaan Allah dalam menghancurkan dan membangkitkan kembali.

Penjelasan serupa juga disajikan dalam QS. Al-Ma’arij: 9. Allah Swt berfirman:

وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِۙ

“Gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan).”

Menurut Prof. KH. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, ayat ini menjelaskan bahwa gunung-gunung yang selama ini dikenal kuat dan berat, bahkan dianggap menjadi penopang agar bumi tidak oleng, pada Hari Kiamat nanti akan hancur menjadi kepingan-kepingan kecil, lalu melayang ringan seperti kapas yang diterbangkan angin.

Dalam suasana yang sangat mencekam itu, jelas Prof. Quraish, tidak seorang pun bertanya tentang nasib temannya, termasuk sahabat terdekat. Bukan karena mereka tidak saling mengenal atau tak melihat satu sama lain, melainkan karena masing-masing begitu sibuk memikirkan keselamatannya sendiri. Semua menyadari bahwa pada hari itu, bantuan siapa pun, termasuk orang yang paling dekat, sama sekali tidak lagi berguna.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.