Ikhbar.com: Internet sudah menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat modern. Nyaris seluruh akses penting dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan internet sebagai jaringan penghubung. Sebut saja, untuk kepentingan belajar mengajar, transaksi, hiburan, dan banyak keperluan lainnya.
Perkaranya adalah tidak semua orang memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanpa terputus. Terkadang seseorang harus menumpang jaringan internet orang lain demi bisa memperoleh kebutuhan tersebut. Lantas, bagaimana hukumnya menumpang WiFi atau jaringan akses broadband yang menjadi media untuk menikmati layanan internet tanpa izin?
Secara teknis, bagi perangkat ponsel atau laptop yang pernah terhubung dengan satu jaringan WiFi, maka akan secara otomatis kembali terhubung tanpa perlu memasukkan password yang telah diterapkan. Hal ini bisa terjadi jika si pemilik WiFi tidak secara rutin mengganti kata kunci atau bahkan tidak memasang kata sandi sama sekali.
Dalam pandangan fikih, mengakses jaringan internet orang lain tanpa izin bisa melahirkan beberapa gambaran hukum sebagai berikut;
Pertama, jika pengakses yakin bahwa WiFi yang terpasang hanya digunakan sebagai akses pribadi, atau dalam artian pemilik cenderung tidak rela jaringan tersebut digunakan orang lain, maka hukum menggunakan jaringan internet tersebut adalah haram.
Kedua, jika seseorang memiliki keyakinan atau dugaan kuat bahwa pemilik WiFi rela ketika akses internet tersebut dimanfaatkan orang lain, maka hukumnya diperbolehkan meskipun tanpa sepengetahuan si pemilik.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubr menegaskan;
بِمَا لَفْظُهُ هَلْ جَوَازُ الْأَخْذ بِعِلْمِ الرِّضَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَمْ مَخْصُوصٌ بِطَعَامِ الضِّيَافَةِ؟ بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُمْ أَنَّهُ غَيْر مَخْصُوصٍ بِذَلِكَ وَصَرَّحُوا بِأَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ كَالْعِلْمِ فِي ذَلِكَ وَحِينَئِذٍ فَمَتَى غَلَبَ ظَنُّهُ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحُ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخْذُهُ ثُمَّ إنْ بَانَ خِلَافُ ظَنّه لَزِمَهُ ضَمَانُهُ
“Apakah boleh mengambil sesuatu dengan keyakinan adanya kerelaan pemilik itu tertentu dalam hal hidangan atau yang lainya? Imam Ibnu Hajar menjawab bahwa masalah tersebut tidak hanya berlaku dalam hal hidanga. Para Ulama menjelaskan bahwa prasangka kuat itu berkapasitas setara dengan keyakinan. Maka, apabila seseorang memiliki prasangka kuat bahwa pemilik barang memberikan keluasan untuk mengambil barang miliknya, maka ia boleh mengambilnya. Namun jika sebaliknya, maka ia wajib mengganti rugi.”