Fikih Illegal Logging: Kejahatan dan Sanksi menurut Al-Syatibi

Pembalakan liar merusak bangunan maslahah secara langsung.
Ilustrasi korban banjir dan longsor akibat pembalakan liar. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Banjir besar dan longsor dahsyat yang menerjang sejumlah wilayah di Pulau Sumatera menghadirkan gambaran keras tentang rapuhnya bentang alam Indonesia. Air bah menyapu permukiman, tanah bergerak menelan rumah dan jalan desa, sementara kegiatan ekonomi terhenti dalam waktu singkat. Pola kerusakan tampak terang. Wilayah hulu kehilangan daya serap, lereng menjadi gundul, dan sungai menyalurkan limpasan air tanpa pengendali alami.

Situasi tersebut menguatkan dugaan lama mengenai masih maraknya illegal logging alias pembalakan liar. Penebangan hutan tanpa kendali meruntuhkan fungsi ekologis dasar. Hutan berperan sebagai sistem hidup yang mengatur air, tanah, dan iklim. Ketika peran itu dihancurkan, bencana hadir sebagai dampak struktural.

Dalam pandangan Islam, relasi manusia dengan alam bersifat normatif. Alam diposisikan sebagai amanah yang wajib dijaga. Kerusakan lingkungan dipahami sebagai pelanggaran terhadap tatanan yang telah digariskan Tuhan.

Baca: Mitigasi Bencana dalam Sejarah Islam

Larangan keras merusak bumi

Al-Qur’an menyampaikan larangan merusak bumi secara tegas. Dalam QS. Al-A‘raf: 56, Allah Swt berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا

Dan janganlah kalian melakukan kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”

Dalam penjelasan mufasir klasik, larangan fasād (merusak) mencakup tindakan yang mengganggu keseimbangan kehidupan. Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir memasukkan penebangan pepohonan secara sewenang-wenang sebagai bentuk perusakan bumi. Penjelasan tersebut menempatkan pembalakan liar sebagai perbuatan tercela secara langsung.

Al-Qur’an juga menautkan kerusakan alam dengan perilaku manusia. Dalam QS. Ar-Rum: 41, Allah Swt berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ

Kerusakan telah tampak di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.

Mufasir seperti Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kekeringan, penurunan hasil panen, dan bencana alam muncul sebagai konsekuensi pelanggaran manusia terhadap tatanan moral dan alam. Penjelasan tersebut sejalan dengan konteks Sumatera hari ini, ketika longsor dan banjir berlangsung beriringan dengan rusaknya kawasan hutan di daerah hulu.

Larangan eksploitasi berlebihan ditegaskan dalam QS. Al-An‘am: 141. Allah Swt berfirman:

وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Jangan berlebihan. Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”

Dalam konteks kehutanan, sikap berlebihan tercermin pada volume tebangan sekaligus pembiaran sistemik terhadap kejahatan lingkungan.

Baca: Pengendalian Banjir di Masa Kekhalifahan Islam

Prinsip maslahah Al-Syâthibî

Imam Al-Syâthibî dalam Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm menegaskan bahwa seluruh hukum Islam ditetapkan untuk menjaga kemaslahatan manusia. Rumusan dasarnya berbunyi:

الْمَعْلُومُ مِنَ الشَّرِيعَةِ أَنَّهَا شُرِعَتْ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ

“Telah diketahui bahwa syariat ditetapkan untuk menjaga kemaslahatan hamba.”

Maslahah menurut Al-Syâthibî terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu dharuriyyah (primer), hajiyyah (sekunder), dan tahsiniyyah (pelengkap).

Perlindungan lingkungan hidup berada pada tingkat dharuriyyah karena menjadi syarat dasar terjaganya jiwa, akal, harta, keturunan, dan agama.

Pembalakan liar merusak bangunan maslahah tersebut secara langsung. Banjir dan longsor mengancam keselamatan manusia. Kerusakan infrastruktur menggerus harta. Krisis ekologis menurunkan kualitas hidup generasi berikutnya. Atas dasar itu, illegal logging diposisikan sebagai perbuatan haram melalui qiyas istinbathi (analogi penetapan hukum), meski tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash.

Al-Syâthibî juga mengembangkan konsep maslahah mursalah (kemaslahatan umum). Konsep ini memberi ruang bagi negara dan ulama untuk menetapkan larangan serta kebijakan atas persoalan baru yang membawa kemudaratan umum. Pembalakan liar termasuk dalam kategori tersebut karena dampaknya nyata, meluas, dan berulang.

Baca: Beda Makna Musibah, Cobaan, dan Azab dalam Al-Qur’an

Tanggung jawab negara

Dalam kajian fikih, kerusakan lingkungan yang berdampak luas berada dalam lingkup tanggung jawab penguasa. Negara berperan sebagai pemegang amanah untuk melindungi keselamatan rakyat dan keberlangsungan hidup bersama. Prinsip tersebut berangkat dari konsep dasar kekuasaan dalam Islam.

Rasulullah Muhammad Saw menegaskan:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menjadi landasan penting dalam fikih siyasah (tata kelola kekuasaan). Para ulama menjelaskan bahwa tanggung jawab penguasa mencakup perlindungan atas keamanan, harta, dan keselamatan rakyat. Pembiaran pembalakan liar hingga memicu banjir dan longsor menunjukkan kewajiban tersebut tidak dijalankan.

Al-Qur’an menguatkan prinsip tersebut dalam QS. An-Nisâ’ ayat 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak.”

Para ulama tafsir, termasuk Imam Al-Qurthubi, menjelaskan bahwa amanah mencakup kekuasaan, kebijakan, dan pengelolaan urusan publik. Hutan sebagai penopang kehidupan masyarakat termasuk amanah negara. Pembiaran perusakan hutan berarti pengkhianatan amanah.

Dalam kerangka maqâṣid al-syarî‘ah (tujuan syariat), negara wajib melindungi jiwa. Imam al-Syâthibî menempatkan perlindungan jiwa pada tingkat dharuriyyah. Tidak ada ruang toleransi bagi kebijakan atau kelalaian yang membuka jalan pada hilangnya nyawa akibat bencana yang dapat dicegah.

Atas dasar itu, pembalakan liar dapat dijatuhi sanksi ta‘zīr (diskresi). Dalam fikih jinayah (pidana Islam), ta‘zīr dikenakan pada pelanggaran yang membahayakan masyarakat luas dan tidak memiliki ketentuan hukuman spesifik dalam nash (teks syariat). Negara memiliki kewenangan menentukan bentuk dan berat sanksinya.

Dasar penindakan tersebut diperkuat oleh kaidah fikih yang disepakati para ulama:

التَّعْزِيرُ مَشْرُوعٌ لِكُلِّ مَعْصِيَةٍ لَا حَدَّ فِيهَا وَلَا كَفَّارَةَ

“Hukuman ta‘zīr disyariatkan bagi setiap pelanggaran yang tidak memiliki hudud (sanksi tetap) dan kafarat (tebusan).”

Illegal logging memenuhi kriteria tersebut. Dampaknya nyata, luas, dan berulang. Pengenaan hukuman berat dapat dibenarkan selama bertujuan menghentikan kerusakan dan melindungi masyarakat.

Islam juga mengenal prinsip pencegahan yang tegas. Kaidah fikih menyatakan:

مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Sesuatu yang menjadi sarana terlaksananya kewajiban, maka hal itu juga wajib.”

Jika keselamatan rakyat merupakan kewajiban negara, maka menjaga hutan, menindak pembalak liar, dan memperkuat pengawasan kehutanan termasuk kewajiban yang tidak terpisahkan.

Karena itu, solusi fikih tidak berhenti pada kecaman moral. Negara wajib menutup celah hukum, menindak pelaku tanpa kompromi, mencabut izin bermasalah, serta memulihkan kawasan hutan rusak. Banjir dan longsor di Sumatera menunjukkan bahwa kelalaian telah berubah menjadi persoalan amanah.

Pada titik ini, fikih menetapkan garis tegas. Ketika kerusakan dibiarkan, negara ikut menanggung dosa sosialnya. Ketika perusakan dihentikan, negara menjalankan perintah agama sekaligus melindungi nyawa manusia. Itulah inti persoalannya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.