‘Islam Bahari’ sebagai Solusi Kebangkitan Ekonomi

“Berpikiranlah luas seperti laut,” ujarnya.
Ilustrasi seorang pria Muslim sedang menghayati kekayaan laut. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Laut bukan sekadar hamparan air asin atau sumber daya alam biasa. Ia adalah ruh ekonomi, wajah peradaban, dan cermin spiritualitas bangsa.

Demikian disampaikan pakar kelautan, Prof. Dr. H. Rokhmin Dahuri, M.S., dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar, episode “Islam Bahari ala Rokhmin Dahuri.”

“Padahal, nilai ekonomi sektor kelautan kita bisa mencapai 1,4 triliun dolar AS per tahun,” kata Prof. Rokhmin, sapaan karibnya, di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 28 Juli 2025.

Pakar kelautan, Prof. Dr. H. Rokhmin Dahuri, saat menjadi narasumber dalam Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertema “Islam Bahari ala Rokhmin Dahuri” di Ikhbar TV. Dok IKHBAR

Baca: Prof. Rokhmin: Mangrove Karunia Allah Penjaga Kehidupan

Paradoks negeri bahari

Menurut Prof. Rokhmin, Indonesia adalah negara kepulauan dengan 77% wilayahnya berupa laut. Namun, kenyataannya, peran laut dalam pembangunan nasional tetap marginal. Transportasi laut hanya mencakup 8% distribusi logistik nasional, jauh tertinggal dibanding Jepang yang mencapai 70%.

“Geografi kita maritim, tapi paradigma pembangunannya berbasis darat. Itu yang membuat kita tidak efisien,” ujar Prof. Rokhmin.

Sejak era kolonial, lanjut Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu, kekuatan maritim bangsa memang sengaja dilumpuhkan oleh penjajah. Laut, yang dahulu menjadi jalur kekuasaan dan perdagangan Sriwijaya hingga Majapahit, dikerdilkan. Indonesia diarahkan menjadi bangsa daratan yang inlander dan kehilangan orientasi geopolitik kelautan.

“Akibatnya, laut hari ini tak lebih dari sumber eksploitasi liar dan overfishing di banyak wilayah seperti Pantura,” ungkapnya.

Jalan bangkit

Namun, bagi Prof. Rokhmin, solusi atas stagnasi ini tidak hanya bersifat teknokratis. Ia menawarkan pendekatan yang disebutnya “Islam Bahari.” Visi ini lahir dari keyakinan bahwa Islam memiliki panduan hidup yang lengkap, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.

“Dalam Islam, pembangunan itu tidak ekstrem kanan yang melarang semuanya, atau ekstrem kiri yang eksploitatif. Islam itu ada batasnya, ada koridornya,” jelasnya.

Ia mencontohkan teori Maximum Sustainable Yield (MSY), sebuah konsep ilmiah yang menurutnya sejalan dengan prinsip syariah tentang keberlanjutan dan kemaslahatan.

Prof. Rokhmin juga mengkritik rendahnya literasi umat Islam terhadap ilmu.

“Ayat pertama Al-Qur’an itu Iqra’, tapi kita ini bangsa muslim dengan tingkat literasi terburuk kedua di dunia,” keluhnya.

Bagi Prof. Rokhmin, membangkitkan sektor kelautan butuh lebih dari sekadar regulasi; diperlukan pembaruan pemikiran yang menjadikan ilmu sebagai ibadah dan profesi sebagai ladang akhirat.

Baca: Laut Tak Selamanya Biru, Dulu Hijau dan Kelak Ungu, Kata Studi Terbaru

Dari teknologi ke teologi

Transformasi kelautan, menurut Prof. Rokhmin, harus dimulai dari teknologi yang tepat dan manusia yang benar. Ia mengisahkan program relokasi nelayan dari Pantura ke Maluku ketika menjabat sebagai menteri. Secara teknis program tersebut berhasil, tetapi banyak yang kembali karena paradigma sosial “mangan ora mangan asal kumpul.” Inilah yang membuatnya menekankan pentingnya pendidikan sosial dan keagamaan, termasuk peran kiai, penyuluh, hingga pemuka agama lintas iman.

Prof. Rokhmin mengingatkan bahwa laut adalah ruang kolaborasi.

“Kalau kita di kapal dan nakhodanya enggak becus, bisa tenggelam semua,” sindirnya.

Menurutnya, filosofi laut juga sangat cocok ditanamkan kepada anak muda: berpikiran luas, terbuka, dinamis, kolaboratif, dan tahan banting.

“Fisik boleh lelah, tapi spiritual harus kuat. Laut mengajarkan itu,” ujarnya.

Baca: Tafsir QS. An-Nahl Ayat 14: Mensyukuri Kekayaan Laut

Kepemimpinan yang menjiwai laut

Gagasan Islam Bahari bukan sekadar konsep. Prof. Rokhmin menekankan pentingnya kepemimpinan yang menjiwai maritim, bukan sekadar menjadikannya gimik politik. Ia menyinggung program Tol Laut yang menurutnya kehilangan ruh karena presiden saat itu tidak benar-benar memahami visi maritim.

“Untuk membangun bangsa laut, harus dari presidennya dulu. Bukan sekadar bikin pelabuhan, tapi bangun juga industrinya,” tegasnya.

Baginya, kebijakan kelautan harus ditempatkan di tangan yang tepat.

“Kalau urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggu saja kehancuran,” katanya, mengutip hadis Nabi.

Menutup pandangannya, Prof. Rokhmin menegaskan bahwa laut seharusnya menjadi kiblat etika dan karakter bangsa.

“Berpikiranlah luas seperti laut,” ujarnya.

Laut mengajarkan untuk bersikap dinamis, produktif, terbuka, dan kolaboratif. Nilai-nilai ini penting tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk membangun bangsa yang saling menguatkan, tanpa sekat agama, suku, atau latar belakang lainnya.

“Jika pemimpin dan rakyat Indonesia meneladani falsafah laut, negeri ini akan lebih cepat menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sebuah negara yang makmur dan diberkahi,” pungkasnya.

Simak obrolan selengkapnya di sini:

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.