Oleh: Iin Sholihin (Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan MIS Sarang Rembang)
HAKIKAT agama Islam terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam ajarannya. Nilai-nilai kemanusiaan tersebut merupakan bentuk elaborasi dari pengakuan yang tulus akan kesamaan dan kesetaraan manusia. Laki-laki dan perempuan semuanya sama karena manusia berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan manusia dengan manusia lain adalah prestasi dan kualitas takwanya.
Menghormati sesama manusia tanpa memandang jenis kelamin, gender, ras, suku, bangsa, dan bahkan agama, itu merupakan salah satu ajaran agama yang prinsipil dan mendasar. Karena itu, setiap agama mempunyai dua aspek ajaran yang inti, yakni ajaran yang mengatur hubungan dengan tuhan dan hubungan antar manusia. Tauhid yang merupakan inti dari ajaran Islam menuntun bagaimana manusia berketuhanan dan juga mengajarkan manusia bagaiman berkemanusiaan yang benar.
Di kehidupan sehari-hari, manusia dalam bertindak dan bergaul selalu berpegang teguh dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai tauhid. Pasalnya, menurut Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan (2005) menjelaskan, tauhid menuntun manusia melakukan tindakan yang positif, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun sesama manusia, atau dengan alam sekitar.
Rasulallah Saw merealisasikan ajaran-ajaran pokok agama dalam kehidupan individual atau sosial. Dengan ajaran ini, beliau melakukan perubahan di segala bidang. Menyakini keesaan Allah berati meyakini tidak ada manusia yang setara dengan-Nya dan tidak ada anak atau apapun yang mengarahkan pada suatu pandangan kesamaan manusia dengan tuhan. Di dunia ini tidak ada manusia nomor satu dan nomor dua, semua hakikatnya sama.
Kekuatan tauhid membentuk pribadi yang kuat dan berani dalam membela yang teraniaya, direndahkan dan terlemahkan secara struktur sosial, seperti kaum wanita, budak, dan anak-anak yang diperlakukan semena-mena oleh penguasa dan pembesar masyarakat. Dengan demikian, tauhid tidaklah sebatas doktrin kegamaan yang statis, melainkan ia adalah energi aktif yang menggerakkan manusia untuk melihat segala sesuatu secara proposional.
Keyakinan terhadap makna tauhid, tidak hanya membawa kemaslahatan dan keselamatan individu, tetapi juga membentuk tatanan masyarakat yang bermoral, santun, manusiawi, bebas dari diskriminasi, ketidakadilan, kezaliman, rasa takut, penindasan individu atau kelompok yang lebih kuat.
Baca: Nihil Capres Perempuan, Ini Tips Memilih ala Ning Uswah
Dengan tauhid, Allah membebaskan manusia dari belenggu penindasan dan kezaliman yang mengungkungnya, baik penindasan dan kezaliman tersebut yang bersumber dari karya kelompok lain yang lebih kuat maupun yang secara tidak sengaja bersumber dari diri sendiri.
Islam saat itu hadir di tengah-tengah kezaliman yang diciptakan manusia sendiri akibat keyakinan, tata nilai, dan tradisi yang salah. Sejarah mencatat sejak zaman Mesir kuno, Yunani kuno, Romawi kuno, Hindu, dan Cina kuno, hingga turunnya Islam, perempuan selalu mengalami penindasan dan terzalimi. Mereka tidak dianggap sebagai manusia yang setara dengan laki-laki.
Islam datang membawa agama tauhid yang tidak mengenal diskriminasi, yaitu mengakui prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan. Biarkan perbedaan itu ada, perbedaan yang ada tidaklah dijadikan sebagai alat untuk mendiskreditkan pihak lain, melainkan untuk saling melengkapi, seperti siang dan malam, atas dan bawah, serta laki-laki dan perempuan.
Dikutip dari pernyataan Mohamad Guntur Romli dalam Islam Tanpa Diskriminasi (2013), berbeda-beda bukan berarti yang satu golongan lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya. Namun Islam menyerukan kepada umatnya untuk saling menghargai dan mengakui kesetaraan antar kelompok dalam masyarakat.
Dengan mengakui prinsip kesetaraan dan berlandaskan keadilan dalam memandang dan merespons perbedaan yang tampak tanpa adanya diskriminasi. Karena masing-masing perbedaan memiliki posisi yang setara, maka pandangan yang merendahkan dan menyepelekan orang lain merupakan wujud yang nyata dari diskriminasi.
Kesadaran seseorang akan pentingnya kesetaraan dalam kehidupan sosial, akan menghindarkan dari pola pikir dan perilaku yang diskriminatif. Termasuk di dalamnya, tidak membedakan seseorang berdasarkan jenis kelamin. Islam justru mengangkat derajat perempuan dari perilaku diskriminatif masyarakat Arab jahiliyah.
Fakta sejarah mencatat kondisi masyarakat Arab saat turunnya Al-Qur’an adalah masyarakat patriarki, yaitu suatu kebudayaan yang tambuk kekuasaan berpusat pada seorang laki-laki. Pada waktu itu laki-laki adalah segala-galanya. Mereka memilki kebebasan dan hak yang tidak terbatas. Sedangkan kaum perempuan dalam posisi yang rendah dan terabaikan, tidak mempunyai hak sama sekali. Jangankan hak sosial, jaminan hidup saja sulit, karena anak-anak perempuan tidak diharapkan kelahirannya.
Hal itu tercerminkan dalam tradisi masyarakat Arab jahiliyah, mereka mengubur hidup-hidup anak perempuan dan menjadikan perempuan sebagai harta peninggalan. Misalnya, jika seorang ayah meninggal, maka anak tertua secara otomatis berhak mewarisi istri ayahnya. Perempuan saat itu tidak dianggap sebagai manusia, mereka tidak memiliki harga diri dan martabat di hadapan kaum laki-laki. Potret budaya Arab jahiliyah itu dapat menjumpai dalam QS. An-Nisa: 19-22.
Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Menurut pandangan Muhammad Abduh, kepemimpinan tersebut bukanlah suatu bentuk diskriminatif terhadap perempuan, melainkan sebuah bentuk penghormatan Islam terhadap status perempuan sebagai seorang istri yang harus dilindungi.
Hal senada juga diungkapkan oleh tokoh feminisme Muslim, yakni Asghar Ali Enginer dan Aminah Wadud Muhsin, mereka menilai tidak adanya unsur mendiskreditkan perempuan karena kepemimpinan itu berdasarkan asas keseimbangan hak dan kewajiban.
Baca: Dua Sisi Kehidupan Dunia
Menurut Amin Farih (2010), pada dasarnya dalam Islam mengakui betul kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hal itu dapat dilihat dalam Al-Qur’an yang berupaya mengangkat derajat dan martabat perempuan. Al-Qur’an banyak berbicara terkait penghapusan bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan. Misalnya, ayat yang menghapuskan budaya penguburan bayi perempuan atau dihilangkannya status perempuan dapat diwariskan.
Kesamaan derajat dan perlindungan hak perempuan diwujudkan dengan diberinya hak waris bagi perempuan dan hak menerima maskawin (mahar). Dengan demikian, ajaran agama Islam berisikan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban secara setara. Laki-laki mempunyai hak, begitu pula perempuan juga memilki hak.
Bertauhid yang benar akan menghantarkan manusia pada kepada kehidupan yang yang baik di dunia dan kebahagian akhirat. Karena tauhid merupakan sentral atau pondasi yang membentuk yang paling dasar. Darinya muncul struktur-struktur norma lain yang terejawantahkan dalam bentuk akidah, ibadah, syariat dan muamalah, hingga semuanya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk moral dan perilaku.