Oleh : Dr. Didi Junaedi, M. A (Wakil Ketua Divisi Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Majelis Ulama Indonesia/MUI Kabupaten Brebes).
SAAT ini, para calon jemaah haji dari seluruh penjuru dunia sudah berada di Tanah Suci. Mereka berduyun-duyun memenuhi panggilan Allah Swt untuk menjalankan salah satu ritualitas ibadah yang merupakan bagian dari pilar rukun Islam yang lima.
Di Indonesia, jumlah calon jemaah haji tiap tahun selalu mengalami peningkatan. Antusiasme masyarakat muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji begitu tinggi. Pertanyaannya kemudian, apa sebenarnya tujuan pelaksanaan ibadah haji itu? Mengapa meningkatnya kuantitas calon jemaah haji di Indonesia tiap tahun, yang kemudian akan menyandang gelar haji sepulangnya dari Tanah Su inici, tidak memberikan dampak yang berarti bagi kehidupan religiousitas di negeri ini?
Pada hakekatnya, dalam setiap ritualitas ibadah formal yang disyariatkan oleh ajaran agama, mengandung cryptic message (pesan tersembunyi) yang hendak disampaikan.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak kita semua meluangkan waktu sejenak untuk merenung, merefleksi, sekaligus menggali makna ibadah haji yang tengah dijalani saudara-saudara kita. Dengan demikian, ibadah haji tidak sebatas ritualitas formal semata tanpa makna, tetapi sebuah aktivitas ibadah yang sarat nilai.
Dalam sejumlah kajian disebutkan bahwa ritualitas ibadah haji mengandung makna filosofis dan memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Hemat penulis, ada dua pesan moral yang dapat kita petik dari aktivitas ibadah haji, yaitu:
Pertama, posisi tauhid menduduki peringkat pertama, paling sentral dan paling esensial dalam ajaran Islam. Pemakaian kain ihram merupakan simbol peleburan ego manusia, pelepasan diri dari segala bentuk nafsu jasadi-duniawi, sekaligus menegaskan al-hurriyah (pembebasan) manusia dari penghambaan terhadap materi. Hal ini sesuai dengan misi tauhid yang diemban setiap manusia, yaitu tahrirul ’ibad min ’ibadatil ’ibad ila ’ibadati Rabbil ’ibad (membebaskan hamba (manusia) dari menyembah sesama hamba (makhluk) menuju penyembahan terhadap Tuhan).
Baca: Manfaat Sosial Haji
Kedua, sikap persamaan ( al-musawah) harkat dan martabat sesama manusia. Tidak ada superioritas dan inferioritas antara satu individu dengan individu lain, satu masyarakat dengan masyarakat lain, bahkan satu bangsa dengan bangsa lain. Semua manusia sama dihadapan Tuhan. Hanya tingkat ketakwaannyalah yang membedakan satu sama lainnya. (Q. S. Al-Hujurat: 13)
Aktualisasi nilai-nilai ibadah haji
Ritual haji yang disimbolkan dengan mengenakan pakaian ihram, menanggalkan segala bentuk kemewahan duniawi, mengakui persamaan derajat manusia dapat dimaknai secara luas. Selain sebagai upaya taqarrub (pendekatan diri) seorang hamba terhadap Penciptanya, juga dapat diartikan sebagai upaya menumbuhkan sikap kesadaran akan eksistensi kemanusiaan serta solidaritas sosial terhadap sesama.
Dimensi vertikal (hablun min Allah) dan dimensi horisontal (hablun min an-nas) harus berjalan selaras dan seimbang. Dimensi vertikal yang disimbolkan dengan penafian terhadap segala nafsu duniawi selama menjalankan ritual ibadah haji, merupakan implementasi dari sikap taat terhadap Allah. Sedangkan dimensi horisontal tercermin dari sikap solidaritas sosial sesama manusia berupa pengakuan akan kesetaraan, persamaan derajat dan kesadaran akan eksistensi kemanusiaan.
Ibadah haji merupakan simbol komitmen bersama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mengajarkan kepekaan sosial, empati terhadap pelbagai persoalan yang menimpa orang lain, sehingga setiap individu ataupun kelompok sosial terjamin hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat. Singkatnya, ritual ibadah haji mengajarkan kita untuk melakukan transendensi, merefleksi, mengapresiasi, sekaligus mentransformasikan nilai-nilai moral ilahi yang suci dan sangat mulia ini menuju nilai-nilai insani dalam realitas sosial.
Dengan demikian, orientasi ketuhanan dan kemanusiaan yang berakar pada tiap individu harus teraktualisasi dalam tata nilai perilaku sehari-hari. Hanya dengan transformasi nilai-nilai ilahi ke dalam ranah realitas sosial inilah, akan terbentuk masyarakat yang saleh, baik secara ritual maupun sosial.
Kesadaran serta penghayatan yang dalam akan makna ibadah haji ini pada gilirannya akan mengikis habis sikap split personality (kepribadian terbelah) yang kerap menghinggapi jiwa manusia. Gejala split personality ini begitu mencolok dewasa ini, di satu sisi seseorang terlihat sebagai sosok yang saleh secara ritual, namun di sisi lain ia juga sosok manusia yang bobrok secara moral. Pelbagai kejahatan publik dilakukannya; korupsi, kolusi, penyalahgunaan wewenang serta sederet tindak kejahatan lainnya. Di sinilah, nilai ideal moral ibadah haji memainkan perannya.
Akhirnya, di tengah kegamangan bangsa ini yang sedang dirundung duka, semoga hadir ke tengah-tengah kita manusia-manusia tauhid yang sadar akan eksistensi kemanusiaannya, yang mampu menyinergikan antara komitmen vertikal-spiritual dan horisontal-sosial demi terciptanya masyarakat yang berorientasi pada nilai-nilai ilahiah dan nilai-nilai insaniyah secara bersamaan.[]