Oleh: Mujahidin Nur (Direktur Eksekutif Peace Literacy Intitute Indonesia)
PRESIDEN negeri para Mullah yang lahir di Mashad, Iran, Ebrahim Raisi untuk pertama kalinya melakukan lawatan ke Indonesia sejak dilantik menjadi Presiden pada 2021 lalu. Presiden RI Joko Widodo menyambut kedatangan Presiden negeri Persia ini di Istana Kepresidenan Bogor Selasa, 23 Mei 2023.
Keduanya melakukan pembicaraan untuk memperkuat kerja sama bilateral, utamanya dalam hal transfer sains dan teknologi antar-kedua negara.
Setidaknya ada 10 poin kesepakatan strategis yang telah ditanda tangani antara pemerintah Indonesia dan Iran, di antaranya ; perdagangan preferensial, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), pembebasan visa, jaminan produk halal, bea cukai, pengobatan farmasi, pemberantasan narkoba, dan pertukaran kebudayaan.
Baca: Indonesia-Iran Jalin Kerja Sama Jaminan Produk Halal
Peluang
Nilai strategis Iran bisa terlihat dari data survei pada beberapa hal. Pertama, pada tahun 2023, Dana Moneter Dunia, IMF melaporkan perbandingan produk domestik bruto (GDP) Indonesia dan Iran (www.imf.org, 2023). Menurut IMF, Iran menempati ranking ke-22 (4.25 ribu dolar Amerika Serikat per kapita), sementara Indonesia menempati ranking ke-16 (5.02 ribu dolar AS per kapita), sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar.
Kedua, dari segi keamanan dan kekuatan militer, Iran menempati ranking ke-17 dari 145 negara. Empat strip di bawah kekuatan militer Indonesia, yang menempati ranking ke-13 per tahun 2023. Sehingga secara kekuatan militer Indonesia jauh lebih tinggi dari Iran.
Ketiga, dari segi pendidikan. Menurut US News, ranking Universitas Tehran berada di urutan ke-329 di dunia. Sedangkan Universitas Indonesia berada di urutan ke-970 dan Universitas Gajah Mada berada di urutan ke-1369. Dalam kontek geopoliik di Timur Tengah, Iran merupakan Geopolitical Player, yang memerankan peran kunci di Timur Tengah dan lain-lain.
Dalam konteks strategis, hubungan Indonesia dan Iran akan mampu mendukung dan mempercepat keinginan Presiden Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, yang mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian gotong royong.
Untuk melangkah ke sana, Indonesia harus menjadi pionir, tidak boleh terus-menerus menjadi negara pengekor. Negara pengekor selamanya tidak akan pernah maju. Presiden Jokowi juga mencontohkan beberapa negara di Amerika Latin yang selalu ketergantungan pada negara lain, tidak mampu bangkit, dan karenanya mereka tidak pernah maju lebih baik.
Dalam rangka menjadi negara yang maju, berdaulat, dan mandiri, Presiden Jokowi menginginkan kerja sama bilateral maupun multilateral yang mengedepankan transfer sains dan teknologi. Kerja sama yang membuat Indonesia sebagai konsumen terus-menerus, bukan produsen, harus dikurangi, bahkan dihentikan.
Dalam konteks ini, kerja sama dengan Iran di bidang pendidikan, ekonomi, politik, kebudayaan, dan lain-lain tidak saja untuk kepentingan peningkatkan investasi, melainkan juga pertukaran dan transfer ilmu pengetahuan maupun teknologi. Iran seumpama menjadi jawaban atas masalah yang digambarkan oleh Presiden RI.
Persaudaraan Sunni-Syiah
Selain itu, Indonesia akan mendapatkan keuntungan besar dalam membangun kerja sama dengan Iran di bidang kebudayaan. Sebab, Iran adalah negara yang memiliki peran strategis dalam menciptakan perdamaian dunia, serta dalam membangun ukhuwah (persaudaraan) umat muslim (Sunni dan Syiah) di dunia Islam. Di bawah kepemimpinan Presiden Ebrahim Raisi, Iran menjadi simbol persatuan Sunni dan Syiah. Ebrahim Raisi menempatkan persatuan Sunni-Syiah sebagai bagian dari strategi politik global Iran di dunia Islam.
Baca: Syiah masih Islam
Hal itu terlihat, misalnya, pada 15 Mei 2022, Presiden Ebrahim Raisi mengundang para ulama Sunni dan menyampaikan bahwa para ulama Sunni memiliki peran penting di negara mereka masing-masing. Sementara dalam sejarah Iran, ulama Sunni dan Syiah hidup berdampingan secara harmonis. Kemudian, Ebrahim Raisi memberikan contoh soliditas kaum Sunni Amerika dan Syiah Ingris dalam memerangi gerkaan takfiri dan salafi. Kaum takfiri salafi ini adalah gerakan anti persatuan dunia Islam. Sementara persatuan dunia Islam adalah strategi yang akan dikembangkan oleh Republik Iran (en.irna.ir, 15/5/2022).
Dalam lawatanya ke Indonesia, Ebrahim Raisi juga berusaha merangkul masyarakat Muslim Sunni terbesar di dunia dengan melakukan salat berjemaah di Masjid Istiqlal. Masjid yang mempunyai akar sejarah yang kuat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia dan merupakan simbol masjid Sunni terbesar di negeri ini. Di Istiqlal Sang Presiden disambut dengan lantunan Tala’al Badru ‘Alaina, yang dalam sejarahnya merupakan sholawat ekpresi kebahagiaan umat Islam Madinah dalam menyambut kedatangan Nabi Muhamad Saw di tengah mereka.
Soft Diplomacy Iran dalam mempererat hubungan Sunni dan Syiah ini perlu mendapat dukungan semua negara, termasuk Indonesia sebagai upaya bersama untuk menyatukan Sunni-Syiah dan menghalau ancaman kaum Takfiri Salafi yang selama ini memecah belah umat Islam dan menyebabkan konflik di berbagai belahan dunia Islam. Dalam hal ini, prestasi Raisi dalam membangun ukhwah Sunni Syiah, dan upayanya menciptakan perdamaian di dunia Islam, telah terbukti.
Demikian pula, para ulama Sunni dan Syiah di Indonesia dapat belajar dari strategi politik Iran di bawah kepemimpinan Ebrahim Raisi. Ulama-ulama Indonesia harus mampu menemukan jalan keluar dari kebuntuan dan kemelut selama ini. Konflik berkepanjangan antara Sunni versus Syiah hanya akan mengoyak persatuan umat Islam, membuat keduanya senantiasa menengok ke belakang sehingga menghambat kemajuan negara.
Dalam pandangan Ebarahi Raisi, semua kelompok agama yang terjebak dalam kerangkeng ideologi salafi-takfiri harus segera sadar, bahwa gerakan mereka hanya menghancurkan persatuan umat muslim, dan puncaknya merugikan umat itu sendiri serta merugihkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada kebaikan dalam agama yang dipahami secara salah dan menghancurkan persatuan.
Ebrahim Raisi bermimpi untuk menjadikan dunia Islam sebagai dunia yang damai, tidak perlu diusik dengan tafsir-tafsir agama yang menyimpang, mengusik kedamaian, dan menyulut konflik sosial. Dunia Islam harus menjadi negara yang maju secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang sejalan dengan jati diri bangsa. Itu semua bisa terwujud dengan terlebih dahulu dengan menanamkan nilai-nilai persatuan antara Sunni-Syiah sebagai fondasi berbagai kerjasama strategis antarbangsa.
Selamat datang Ayatullah Hujjat el Islam Ebrahim Raisol Sadati atau Ebrahim Raisi di Indonesia, negara Muslim Sunni terbesar di dunia. Seraya kami menitipkan harapan besar, kemajuan dan persatuan di dunia Islam bisa tercipta di bawah kepemimpinan Anda! []