Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah dan Ikhbar.com, nama saya Khairunnisa Hilwa, dari Makassar.
Saya ingin bertanya, benarkah haji lebih mengutamakan suami/kaum laki-laki? Sebab, pada praktiknya, ketika ada peluang untuk berhaji tetapi hanya cukup untuk satu orang, di masyarakat lebih umum seorang suami berangkat haji tanpa istri dari pada istri berangkat tanpa suami. Bolehkah jika kebalikannya? Mohon pencerahannya.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Kak Khairunnisa Hilwa dari Makassar.
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Jumhur (sebagian besar) ulama menetapkan bahwa haji adalah ibadah yang wajib dilakukan hanya bagi yang mampu.
Perintah melaksanakan ibadah haji tertuang dalam QS. Ali Imran: 97. Allah Swt berfirman:
وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
Perintah haji ditujukan kepada orang-orang Islam yang telah memenuhi kriteria istitha’ah (mampu). Imam Syafi’i dalam Fathul Wahab karya Syaikhul Islam Abu Yahya Zakariya Al-Anshari mengemukakan bahwa istitha’ah dibagi menjadi dua kategori, yakni istitha’ah binafsih (kemampuan dengan dirinya sendiri) dan istitha’ah bighairih (kemampuan dengan bantuan orang lain), dalam hal ini adalah petugas haji.
Istitha’ah binafsihi dibagi menjadi 7 aspek: (1) kemampuan kesehatan dengan tolok ukur mampu untuk duduk di atas kendaraan tanpa adanya kesulitan, (2) mampu dalam hal finansial, yang terdiri dari ada biaya untuk pulang dan pergi, (3) mampu untuk membayar kendaraan, (4) mampu dalam hal memiliki bekal selama perjalanan, (5) mampu dalam mewujudkan keamanan bagi dirinya sendiri, (6) mampu dalam hal menghadirkan mahram bagi perempuan, (7) mampu untuk sampai ke tujuan pada waktu yang telah ditentukan yakni 10 Zulhijjah.
Baca: Apakah Menghajikan Istri Termasuk Kewajiban Suami?
Menurut Imam Hanafi, istitha’ah mencakup tiga hal, yakni istitha’ah maliyah (kemampuan biaya), istitha’ah badaniyyah (kemampuan kesehatan), dan istitha’ah amniyyah (kemampuan keamanan selama perjalanan dan sampai ke Tanah Air).
Bagi seorang istri, makna istitha’ah (kemampuan) dalam melaksanakan haji menjadi lebih luas, termasuk kewajiban suami mengcover pembiayaan haji. Maka, dibolehkan jika sang istri mampu membayar biaya haji dari uang suami. Hal itu sebagaimana Firmah Allah Swt:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya”. (QS. An-Nisa: 34)
Mungkin yang menjadi anggapan masyarakat pada umumnya adalah lebih wajib laki-laki dari pada perempuan ketika biaya haji atau peluang lainnya hanya mencukupi satu orang. Sedangkan dari segi istitha’ah, tidak selalu dari pihak laki-laki.
Di sisi lain, memang terdapat dalil tentang keberadaan mahram bagi perempuan saat melaksanakan ibadah haji. Hal itu, kemudian menghadirkan persepsi bahwa seolah-olah laki-laki lebih utama untuk pergi haji karena tidak membutuhkan hal tersebut.
Keterangan itu, sebagaimana tertera dalam hadis:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَم، وَلاَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا
“Tidak boleh seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahram, dan tidak boleh pula seorang laki-laki masuk ke rumah atau kamar seorang perempuan kecuali ada mahram bersamanya. Maka bertanyalah seseorang, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin berangkat ekspedisi dengan suatu tentara, sedangkan istriku akan melaksanakan haji.” Rasulullah Saw bersabda, ‘Temani perjalanannya (istrimu).” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadis tersebut, Ibnu Hazm berpendapat bahwa kewajiban mahram ada di pundak laki-laki, bukan perempuan. Karena di dalam teks ini ada pernyataan Nabi kepada laki-laki untuk menemani istrinya yang ingin melakukan perjalanan haji. Tetapi, Nabi tidak melarang perempuan tersebut, tidak meminta suaminya melarang, sekalipun suaminya juga memiliki kewajiban tersendiri.
Dengan logika hukum, bisa disimpulkan bahwa hukum mahram dalam perjalanan perempuan lebih menyangkut pada konsep perlindungan dan pengamanan. Diwajibkan mahram berupa kerabat dekat laki-laki untuk tugas perlindungan karena memiliki jalinan emosional yang cukup kuat hingga pengamanan dan perlindungan bisa diberikan.
Namun, dalam menanggapi hadis di atas, dalam Al-Ijabah li Irad Ma Istadrakathu ‘Aisyah ‘alas Shahabah, Imam az-Zarkasy mengisahkan bahwa Sayyidah ‘Aisyah berkata, “Tidak semua perempuan memiliki kerabat laki-laki yang bisa menjadi mahram.” Sayyidah ‘Aisyah juga masyhur melaksanakan safar haji tanpa kerabat laki-laki yang menjadi mahramnya.
Dalam Islam, siapa pun, termasuk perempuan, memiliki hak untuk melakukan aktivitas positif, termasuk jika harus bepergian. Apalagi bepergian yang dilakukan dalam menunaikan kewajiban, misalkan mencari ilmu, mencari nafkah, termasuk ibadah haji. Bahkan dalam sebuah hadis Nabi mengatakan bahwa haji merupakan jihad paling utama bagi perempuan:
عن عائشة رضي الله عنها قالت: قُلتُ: يا رَسُولَ الله، نَرَى الجهادَ أفضلَ العمل، أفلا نُجاهِد؟ فقال: لَكُنَّ أفضلُ الجهادِ: حجٌّ مبرور
“Dari Aisyah r.a berkata, Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Kami memandang bahwa jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami boleh berjihad?’. Beliau menjawab, ‘Tetapi jihad yang paling utama bagi kalian (kaum wanita) adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari).
Dalam hadis lain dijelaskan:
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ بيْنَا أنَا عِنْدَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، إذْ أتَاهُ رَجُلٌ فَشَكَا إلَيْهِ الفَاقَةَ، ثُمَّ أتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إلَيْهِ قَطْعَ السَّبِيلِ، فَقَالَ: يا عَدِيُّ، هلْ رَأَيْتَ الحِيرَةَ؟ قُلتُ: لَمْ أرَهَا، وقدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا، قَالَ: فإنْ طَالَتْ بكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ حتَّى تَطُوفَ بالكَعْبَةِ، لا تَخَافُ أحَدًا إلَّا اللَّهَ
“Dari Adi bin Hatim berkata, ‘Suatu saat aku sedang bersama Nabi Saw, lalu ada seorang laki-laki datang mengadu kemiskinan dirinya. Seorang yang lain mengadu perampokan yang terjadi pada dirinya di jalan. Lalu Nabi bertanya (kepadaku), ‘Wahai Adi, kamu tahu Kota Hira?’. Aku menjawab, ‘Tidak pernah melihatnya, tetapi sudah pernah mendengar tentangnya.’ Lalu Nabi Saw berkata, ‘Suatu saat, jika umurmu panjang, kamu akan melihat seorang perempuan berani berpergian (sendirian) dari kota Hira (di Irak, mengunjungi Makkah), sehingga bisa thawaf di ka’bah dan tidak ada yang dikhawatirkannya pada siapa pun (karena aman), kecuali (ketakutan dirinya akan berbuat salah kepada) Allah Swt.” (Shahih Bukhari, Kitab al-Manaqib, No. 3637)
Teks hadis ini mengisyaratkan tentang makna mahram bagi perjalanan perempuan, yaitu untuk keamanan dan perlindungan, juga memprediksi kondisi aman dalam perjalanan, sehingga perempuan dapat melakukan perjalanan jauh tanpa harus ditemani mahram. Teks hadis serupa dari riwayat Ahmad menyebutkan tentang kondisi perjalanan perempuan tanpa perlindungan mahram ini. (Musnad Ahmad, Nomor 19688).
Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki porsi yang setara dalam melaksanakan ibadah haji sesuai dengan kemampuannya. Jika pada praktiknya hanya cukup untuk satu orang, maka pilihlah yang lebih prioritas untuk melaksanakan ibadah haji berdasarkan istitha’ahnya, yakni secara kesehatan, finansial, keamanan. Bukan berdasarkan jenis kelaminnya atau status dalam pernikahannya (suami atau istri). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.