Oleh: KH Sobih Adnan (CEO PT. Ikhbar Metamesta Indonesia/Ikhbar.com)
SEMUNGIL bocah bertanya di hari ulang tahunnya, “Apa sebab kue ini berbentuk bulat? Lilin yang baru saja dinyalakan, haruskah segera dipadamkan? Mengapa ada doa? Kenapa harus memupuk harapan?
Si anak, semacam sedang menggugat argumen orang-orang dewasa. Seberapa perlu perayaan, permenungan, doa-doa, ungkapan syukur, serta hal-ihwal lain yang dinilainya tak wujud dan hanya menampakkan kesan kepercumaan nan absurd.
Begitulah, yang lantas disebut peneliti Maughn Gregory, “Anak-anak adalah filsuf alamiah.” Mereka memang hobi menanyakan segala hal dari yang luput hingga yang dianggap sudah jelas di alam pikiran para orang tua. Sesekali pula, anak-anak yang cerdas akan melompati pagar-pagar politis, metafisis, bahkan etis. Dan itu, wajar.
Usia dan nalar kritis memang punya garis persimpangan. Konon, kian tambah umur, kemampuan berpikir dan menanyakan sesuatu makin kabur. Itulah mengapa tradisi bolu ulang tahun terinsipirasi kisah Artemis, sang dewi bulan, putri Zeus dan Leto yang lahir dalam pengasingan pulau tanpa matahari, Ortygia.
Mitologi Artemis memunculkan notifikasi pelunturan akal manusia sebab usia. Dari kehidupan yang serbamatahari, meredup ke purnama. Di sisi lain, orang-orang Yunani kuno menarik nama itu ke dalam sapaan “Artemes,” yang berarti aman.
Baca: Khusus Santri Cirebon, Ikhbar.com Buka Kelas Menulis Biografi Kiai, Begini Cara Daftarnya
Lilin yang tertancap di kue bolu sebesar bulan dalam pandangan itu melambangkan titik terang. Maknanya, pengulangan tahun kelahiran adalah warning penurunan gradasi akal pikir manusia yang dibarengi harapan manis, serta perlunya menafsirkan bahwa padam bukan sebagai sesuatu yang usai, tetapi penciptaan rasa aman.
Di sisi lain, purnama pikiran sepanjang tahun ini direkam kajian tasawuf tanpa adanya kesinambungan dengan bilangan usia. Kematangan berpikir alias rusyd, justru bisa diperoleh sembarang umur secara acak. Sampai di sini, bisa jadi, istilah “seumur jagung” yang kerap menunjukkan arti ketidak-matangan malah menjadi tanda ia telah sempurna, paling tidak, bagi si jagung itu sendiri.
Tua-muda, lama-singkat, panjang dan pendek umur, tiada beda. Sejak kapan usia dihitung pun belum tentu sama.
Guru mulia, Ibnu Atha’ilah As-Sakandari, misalnya, dengan penuh getar ia menulis, “Demi Allah, umurmu bukan dimulai sejak engkau lahir, tetapi dimulai di hari ketika engkau mengenal Allah.” Sementara bagi Maulana Jalaluddin Rumi, usia manusia baru boleh dicatat di saat ia berhasil menemukan pemikiran baru. “Kham bodam, pokhteh shodam, sokht. Di saat terbuka sebuah jalan baru, manusia yang dulu mentah, akan matang, lalu terbakar.”
Jika sudah menemukan jalan baru, maka laju perjalanan usia akan terasa begitu cepat, terlebih ketika telah berada di titik putaran yang genap. Seperti setahun Ikhbar.com (10 Oktober 2022–10 Oktober 2023), yang tiba-tiba datang sementara orang-orang di dalamnya masih merasa baru saja memulai.
Baca: Ikhbar.com Buka Kanal Konsultasi Syariah
Memang, tidak ada kue bolu bulat dan lilin angka yang dinyalakan dan dipadamkan embusan doa dan tepuk tangan. Namun, keberadaannya tetap mengemban cita-cita untuk bisa menjelma kado yang terus dibagikan ke khalayak ramai. Ya, kado indah yang senantiasa menghadirkan kejutan, manfaat, dan pencerahan bagi umat. Semoga. Amin.[]