Oleh: Ustaz Agung Firmansyah (Direktur Utama Ikhbar.com)
IMAM Al-Ghazali dalam magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, menegaskan, tujuan utama pendidikan adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt dan membangun akhlak mulia. Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk menghapus kebiasaan buruk yang bertentangan dengan syariat dan membiasakan perilaku luhur. Proses panjang ini mencakup tiga dimensi penting, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, interaksi sosial dengan masyarakat dan pemerintah, serta pemahaman akidah dan prinsip dasar.
Lembaga pendidikan menjadi sandaran utama orang tua dalam mengantarkan anak-anak untuk mencapai tujuan itu.
Namun, pada praktiknya, tujuan esensial tersebut kerap terganggu oleh obsesi akan nilai akademik, yang sesungguhnya berfungsi sebagai alat ukur belaka. Pada gilirannya, kegagalan dalam proses pembelajaran, yang ditandai dengan nilai akademik yang rendah, membawa kepada praktik katrol nilai, yang berkebalikan dengan tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
Baca: ‘Sakuku Banyak,’ Tips Jitu Memilih Pesantren Aman untuk Anak
Kurikulum yang sering berganti tidak menghentikan praktik ini. Meskipun kurikulum merdeka menggantikan istilah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP), esensinya tetap sama. KKTP, yang ditentukan melalui deskripsi kriteria, rubrik, dan interval nilai, masih mempertimbangkan nilai selama proses pembelajaran hingga ujian. Guru masih memiliki potensi untuk mengatrol nilai agar siswa memenuhi KKTP yang telah ditetapkan.
Praktik ini tetap dilakukan karena siswa masih harus memenuhi KKTP yang telah ditentukan. Jika nilai akhir siswa hanya 50, ditambah dengan nilai tes akhir, katrol nilai masih diperlukan agar siswa dapat memenuhi KKTP pada kriteria tertentu.
Kebijakan bahwa tidak ada siswa yang tidak naik kelas juga menjadi faktor lain yang memicu praktik ini. Nilai merah tidak boleh muncul di rapor siswa, sehingga guru berusaha untuk menuntaskan nilai minimal siswa agar mereka bisa naik ke jenjang berikutnya, meskipun kualifikasinya masih diragukan. Reputasi sekolah juga kerap menjadi dalih untuk menghalalkan praktik tersebut.
Masalahnya, ketika nilai menjadi komoditas, kejujuran dan kualitas pendidikan sering kali terabaikan. Kasus manipulasi nilai bukanlah hal baru, bahkan menjadi bukti nyata betapa rapuhnya integritas pendidikan demi memenuhi standar yang ditetapkan.
Ketika nilai akademik dimanipulasi, tujuan luhur pendidikan, yakni pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai kebenaran terdegradasi menjadi formalitas belaka.
John Dewey, seorang filsuf pendidikan, berpendapat bahwa pendidikan harus berpusat pada pengalaman nyata dan pengembangan kemampuan kritis siswa.
“Education is not preparation for life; education is life itself,” kata Dewey.
Baca: Hadis-hadis Pendidikan
Pendidikan yang hanya mengejar angka tanpa memperhatikan proses pembelajaran adalah pendidikan hampa.
Howard Gardner, dengan teori Multiple Intelligences-nya, juga menunjukkan bahwa setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda. Sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada nilai akademik tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan lain yang mereka miliki. Mengatrol nilai adalah bentuk ketidakadilan terhadap anak-anak yang mungkin memiliki kecerdasan di bidang lain, tetapi tidak diakui sistem yang ada.
Tekanan untuk mencapai nilai tinggi tidak hanya datang dari sistem pendidikan itu sendiri, tetapi juga dari orang tua dan masyarakat.
Dalam The Price of Privilege (2006), Madeline Levine menjelaskan bagaimana tekanan dari orang tua untuk mencapai nilai sempurna dapat merusak kesehatan mental dan emosional anak. Orang tua perlu menyadari bahwa nilai akademik bukanlah segalanya. Mendukung anak untuk mengembangkan potensinya dengan cara yang sehat dan jujur jauh lebih penting, daripada sekadar mencapai angka tertentu.
Mengembalikan integritas dalam pendidikan membutuhkan komitmen dari berbagai pihak: pemerintah, sekolah, guru, orang tua bersama-sama dengan masyarakat. Pemerintah harus mengesahkan kebijakan yang realistis dan tidak membebani sekolah dengan target yang tidak mungkin dicapai. Sekolah dan guru harus memiliki keberanian untuk menolak penggunaan praktik mengubah nilai secara tidak adil, serta fokus pada proses pembelajaran yang sebenarnya.
Stakeholder pendidikan harus mengapresiasi proses belajar dan pertumbuhan karakter anak, bukan hanya fokus pada hasil akhir yang dievaluasi dalam angka.
Dalam sistem kapitalisme pendidikan, nilai bukan hanya sekadar angka, tetapi juga menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan. Sistem dan tuntutan masyarakat merusak integritas pendidikan. Semua pihak harus mengutamakan esensi sejati pendidikan, yang bukan hanya fokus pada prestasi belaka tetapi juga membentuk karakter dan integritas. Pendidikan bukan hanya persiapan untuk hidup, melainkan sebuah perjalanan dalam kehidupan.[]