Oleh: KH Sobih Adnan (CEO PT. Ikhbar Metamesta Indonesia/Ikhbar.com)
BAHASA adalah pintu masuk alam pikir manusia. Lewat bahasa, seseorang bisa menjumpai asal-usul dan semangat awal leluhur yang telah direkam ke dalam satuan kata. Kata “Daerah” dalam Bahasa Indonesia, misalnya, bukanlah penyebutan kebetulan. Ia memiliki makna dan pesan yang akan selalu relevan di sepanjang zaman.
Lema “Daerah” diserap dari akar kata Bahasa Arab, “Ad-Daar,” yang berarti rumah. Dalam lingkup lebih luas, kata itu kemudian berkembang dan diperkaya menjadi “Da’irah” yang bermakna lingkaran atau komunitas. Dua kata rujukan ini menunjukkan esensi hubungan manusia dengan ruang hidupnya. Rumah merupakan titik temu antara tanggung jawab sosial dan moral.
Istilah “Ad-Daar” sering kali digunakan secara metaforis untuk merujuk pada tempat penjagaan dan perjuangan kehidupan. Secara filosofis, rumah tidak hanya dimaknai sebagai bangunan fisik, tetapi juga sebagai pusat stabilitas dan harmoni. Dalam kultur Indonesia dan kebanyakan negara lainnya, rumah adalah medan bagi peran sentral seorang ayah sebagai kepala rumah tangga. Ayah, tidak cuma bertugas sebagai penyedia, tetapi juga penjaga nilai-nilai keluarga.
Baca: 5 Kaidah Fikih Pedoman di Masa Kampanye Pilkada
Ayah dan kekuasaan
Berasal dari akar yang sama, maka pemaknaan kata “Daerah” pun sejatinya memiliki garis tarik yang setara. Ayah dalam konteks yang lebih luas dan bukan fokus pada identitas gendernya, tentu menyasar kepala daerah. Keberadaannya tidak boleh dimaknai sebagai pihak yang hanya bertanggung jawab atas infrastruktur, tetapi juga atas kualitas hidup, keadilan sosial, dan rasa aman masyarakatnya.
Gagasan pemimpin sebagai seorang “Ayah” sejatinya sudah lama terbahas. Plato dalam The Republic, menggambarkan pemimpin ideal sebagai “philosopher-king” yang memadukan kebijaksanaan, kebaikan, dan keberanian moral. Seorang kepala daerah yang ideal adalah figur yang memahami kebutuhan warganya dengan mendalam dan memimpin bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi kesejahteraan bersama.
Namun, filsafat politik modern juga mengingatkan bahwa kekuasaan sering kali menggoda manusia untuk bertindak otoriter. Niccolò Machiavelli, meskipun sinis, menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mampu mengelola cinta dan rasa takut dari rakyatnya. Dalam konteks ini, kepala daerah sebagai “Ayah” memiliki tantangan besar, meliputi bagaimana menyeimbangkan antara kekuasaan dengan kasih sayang sehingga ia tetap menjadi pemimpin yang dihormati tanpa kehilangan kedekatannya dengan masyarakat.
Sebaliknya, dalam perspektif tasawuf, kepemimpinan adalah amanah ilahiah yang harus dijalankan dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab. Konsep ini sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad Saw yang menekankan pentingnya prinsip “Rahmatan lil alamin.” Seorang pemimpin ialah murabbi alias pembimbing rohani dan sosial yang harus mampu melihat kebutuhan batin masyarakat, bukan dari hal-ihwal yang bersifat material semata.
Seorang kepala daerah yang ideal diibaratkan sebagai “wali rumah.” Ia harus mampu memelihara keseimbangan antara lathif (kelembutan) dan qawiyy (kekuatan). Tanpa kelembutan, kepemimpinan akan menjadi kaku dan menakutkan. Minim kekuatan, kepemimpinan pun niscaya hilang kewibawaan.
Baca: 5 Panduan Al-Qur’an agar Kebal Godaan Politik Uang
Kritik realitas
Sayangnya, realitas politik saat ini sering kali bertolak belakang dengan idealisme tersebut. Fenomena maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, sebagaimana dilaporkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencerminkan absennya nilai-nilai murabbi dalam kepemimpinan. Banyak pemimpin lebih mementingkan keuntungan pribadi ketimbang kesejahteraan masyarakatnya.
Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilih sering kali pragmatis dalam menentukan pilihan. Salah satu hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa politik uang masih menjadi faktor dominan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Jika pemimpin adalah cerminan rakyat, maka keberadaan pemilih yang oportunis sangat segaris dengan takdir kelahiran elite-elite yang korup.
Pilkada Serentak 2024 adalah peluang bagi masyarakat untuk memilih kepala daerah yang benar-benar memiliki kualitas seorang ayah yang tegas tetapi penyayang, serta kuat tapi penuh empati. Pemilih harus merefleksikan keputusan mereka, tidak semata-mata tergoda oleh janji atau iming-iming materi belaka.
Konsep maqamat dalam tasawuf mengenalkan prinsip bahwa pemilih ideal adalah mereka yang telah mencapai kesadaran spiritual yang tinggi dan mampu membedakan pemimpin sejati dari mereka yang hanya menjual mimpi. Pilkada bukan sekadar ajang demokrasi formal, melainkan juga ujian moral bagi masyarakat untuk menunjukkan kedewasaan mereka dalam memilih.
Baca: 6 Langkah Jitu Deteksi Calon Pemimpin Pro Perempuan di Pilkada
Daerah adalah rumah besar yang membutuhkan figur ayah sejati demi terjaganya sebuah harmoni. Kepala daerah harus mampu menjelma pengayom yang menghidupkan nilai-nilai keadilan dan kasih sayang. Pemimpin ideal adalah mereka yang di dalam jiwanya terdapat perpaduan yang imbang antara kekuatan moral dan intelektual.
Alhasil, Pilkada memang bukan cuma tentang memilih kepala daerah, tetapi sebuah iktikad bersama dalam menentukan masa depan rumah besar yang penuh dengan kebaikan. Hanya dengan kesadaran penuh dan niat tulus dari pemilih, daerah dapat memiliki pemimpin yang benar-benar menjadi “Ayah” bagi rakyatnya. Yakni, sesosok pemimpin yang mampu mengelola rumah dengan cinta, kebijaksanaan, dan penuh tanggung tanggung jawab.[]