Oleh: Agung Firmansyah (Direktur Utama Ikhbar.com)
SUATU peringatan hari besar acapkali diperlakukan sebatas perayaan an sich, sonder refleksi yang idealnya dihadirkan seiring makna “peringatan” itu sendiri, yakni nasihat. Sebab, nasihat adalah sesuatu yang koheren dengan agama, tak hanya berlaku ketika tiba hari raya atau peringatan hari besar.
Tentang hal itu, di hadapan para sahabatnya, Nabi Muhammad Saw bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat. Kami (sahabat) bertanya, ‘Kepada siapa?’ Beliau (Nabi Saw) bersabda, ‘Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan kepada pemimpan kaum Muslimin dan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, sudah sewajarnya jika berbagai bentuk ritus, ekspresi, hingga peringatan hari besar, seperti Iduladha dipandang sebagai nasihat yang terus-menerus relevan dengan zaman dan konteks sosial.
Iduladha secara harfiyah berarti hari raya kurban. Sebutan ini erat kaitannya dengan sifat-sifat pengorbanan yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim As, yang dalam praktik kekinian berarti mengorbankan harta yang dicintai untuk dibagikan kepada sesama dalam bentuk hewan ternak yang disembelih. Pengorbanan tersebut dimaksudkan sebagai bentuk ketundukan kepada perintah Allah Swt dan pengharapan akan rida-Nya.
Praktis, pengorbanan yang dilakukan itu adalah pendidikan tentang kepekaan sosial, solidaritas, dan empati. Sifat-sifat terpuji yang meneguhkan visi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin atau anugerah bagi alam semesta.
Proses penyembelihan hewan kurban juga dapat dimaknai secara simbolis, yaitu menyembelih sifat-sifat yang rusak pada diri manusia. Yakni, sifat-sifat yang menghambat diri dari kedudukan insan kamil atau manusia sempurna, seperti kikir, apatis, zalim, dan sebagainya.
Nasihat-nasihat tersebut hendaknya dihadirkan dalam hati, lebih-lebih ketika menghadapi hari mulia ini, sehingga jiwa yang terasah oleh kepekaan sosial akan tidak tinggal diam ketika melihat kezaliman yang terjadi.
Jiwa yang terasah kepekaan sosialnya akan bertindak ketika melihat saudaranya dihimpit ketidakadilan. Jika tak mampu menyokong power untuk mengentaskan kezaliman, maka berani “speak up” adalah tindakan yang paling mulia yang bisa dilakukan.