Ikhbar.com: Pesawat dari maskapai nasional Israel, El Al, harus melakukan pendaratan darurat di Bandara Antalya, Turki, pada Minggu, 30 Juni 2024, untuk memberikan pertolongan medis kepada seorang penumpang. Namun, permintaan untuk mengisi ulang bahan bakar ditolak oleh pihak bandara Turki sebelum pesawat melanjutkan perjalanannya.
Menurut laporan yang dikutip dari AFP dan Al Arabiya, pada Senin, 1 Juli 2024, El Al dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa para pekerja di Bandara Antalya menolak mengisi bahan bakar pesawat dengan nomor penerbangan LY5102 tersebut sebelum terbang kembali ke Tel Aviv.
Baca: Peta ‘Israel Raya’ Buatan Zionis Caplok Makkah dan Madinah
“Pendaratan darurat itu dilakukan ketika pesawat tengah terbang dari Warsawa, Polandia menuju Tel Aviv, Israel,” ungkap Maskapai El Al dalam pernyataan resminya, dikutip pada Rabu, 3 Juli 2024.
Seorang penumpang yang mengalami gangguan kesehatan telah dievakuasi dari pesawat. Namun, pesawat tidak diizinkan untuk mengisi bahan bakar di Antalya dan terpaksa melanjutkan penerbangan ke Rhodes, Yunani, untuk mengisi bahan bakar sebelum akhirnya terbang ke Israel.
Hubungan Turki dan Israel mengalami ketegangan sejak terjadinya perang di Jalur Gaza pada Oktober tahun lalu. Semua penerbangan langsung antara kedua negara dibatalkan sejak saat itu.
Sumber diplomatik Turki mengonfirmasi bahwa pesawat tersebut diizinkan mendarat darurat demi alasan kemanusiaan.
“Bahan bakar disediakan ke pesawat karena pertimbangan kemanusiaan, namun karena prosedur terkait akan segera diselesaikan, kapten memutuskan untuk pergi atas kemauannya sendiri,” jelas sumber tersebut.
Baca: Israel Cemari Aliran Air Warga Palestina dengan Limbah
Surat kabar Israel, The Times of Israel, melaporkan bahwa pesawat El Al berada di landasan Bandara Antalya selama beberapa jam sebelum akhirnya lepas landas menuju Yunani.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, dikenal sebagai pengkritik keras operasi militer Israel di Jalur Gaza dan sering menunjukkan dukungannya terhadap kelompok Hamas.
Erdogan bahkan menyebut Hamas sebagai “pembela tanah air mereka”. Sebaliknya, Israel, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris.