Ikhbar.com: Menteri Kesetaraan Gender dan Kehidupan Kerja Swedia, Paulina Brandberg menjadi sorotan setelah mengungkapkan bahwa dirinya memiliki fobia pisang atau biasa disebut bananaphobia yang begitu parah. Akibat ketakutannya yang aneh itu, ia menyebut asistennya harus memastikan tidak ada jejak, aroma, atau apapun yang berhubungan dengan pisang di sekitar lokasi kegiatan.
Meskipun banyak yang menanggapinya dengan lelucon, hal ini sepenuhnya dimengerti oleh Sarah, seorang ahli saraf yang juga memiliki fobia pisang.
Sarah mengatakan, ia dapat mendeteksi keberadaan pisang dari aroma saja, bahkan yang baru saja dikonsumsi seseorang. Reaksi yang dialami biasanya berupa rasa jijik yang kuat hingga mual.
“Saya akan sangat waspada, menyadari keberadaan mereka, dan merasa perhatian saya tertarik ke arah mereka,” ungkap Sarah, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Jumat, 22 November 2024.
Baca: Menangkal ‘Jam Koma’ dengan Doa
Dia menceritakan, fobia itu ia rasakan sejak usia empat tahun tanpa insiden buruk yang diingat. Sarah menduga ada pengalaman negatif terkait pisang yang menyebabkan perubahan mendadak.
Fobia sering kali muncul dari pengalaman buruk tertentu, meskipun Sarah sendiri tidak mengingat kejadian spesifik.
Bagi sebagian besar orang, sulit memahami ketakutan terhadap sesuatu yang tampak tidak berbahaya. Sebagai remaja, Sarah merasa malu karena fobianya dianggap lucu. Teman-temannya di universitas sering kali mengerjainya dengan menyembunyikan pisang di tempat tidurnya. Sarah dapat menertawakan hal itu, tetapi tetap merasa jijik.
“Kalau pisangnya dikupas, saya mungkin akan menyuruh mereka mengganti seprai,” katanya.
Meski kini fobianya lebih terkendali, Sarah masih menghindari situasi yang melibatkan pisang. Di supermarket, ia menjauh dari area buah-buahan tertentu. Dalam ruang rapat, pisang di dalam mangkuk buah bisa membuatnya tidak nyaman.
“Saya akan duduk sejauh mungkin. Kalau ada yang makan pisang, saya mungkin mencoba menjauh,” ungkapnya.
Situasi tak terduga, seperti menemukan kulit pisang di bus atau pisang disajikan saat penerbangan, bisa membuatnya panik.
Sarah telah mempelajari cara mengatasi berbagai fobia melalui penelitiannya. Namun, ia memilih untuk tidak menyembuhkan fobia pisangnya karena terapi eksposur terasa terlalu menakutkan.
Menurutnya, tekstur dan aroma khas pisang mungkin memicu respons jijik secara naluriah. Ini diduga terkait dengan insting manusia untuk menghindari makanan busuk.
Baca: Tinggalkan Ponsel selama Seminggu dan Rasakan Manfaatnya!
Fobia terhadap benda atau situasi aneh juga dialami oleh banyak orang. Dave Smithson dari Anxiety UK menyebutkan, beberapa fobia yang pernah dilaporkan meliputi bayangan, kulit hewan, hingga gravitasi.
“Orang sering mengorganisasi hidup mereka agar tidak berhadapan dengan ketakutan tersebut,” katanya.
“Sebagian besar fobia berkembang melalui pengalaman traumatis,” sambung Smithson.
Sejarawan dan penulis “Fear: A Cultural History,” Joanna Bourke menjelaskan bahwa konsep fobia baru dikenal sejak akhir abad ke-18. Fobia tertentu, seperti agorafobia (takut pada ruang terbuka), muncul di abad ke-19 dan mencerminkan perkembangan budaya serta teknologi baru.
Buku “The Book of Phobias and Manias” karya Kate Summerscale mengungkap asal mula beberapa fobia unik. Coulrophobia (fobia badut) mulai populer setelah kasus kriminal seorang badut pada 1980-an dan novel horor karya Stephen King, “It.” Trypophobia (takut pada lubang kecil berkelompok) muncul pada 2003 karena gambar palsu yang menyebar di internet.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) adalah metode yang umum digunakan untuk mengobati fobia, sering kali dengan eksposur bertahap terhadap pemicu ketakutan. Teknologi realitas virtual kini juga mulai digunakan. Dalam beberapa kasus, terapi singkat menggunakan gambar yang ditampilkan secara subliminal (terlalu cepat untuk disadari) dianggap efektif.
Fobia pisang memang terdengar aneh, tetapi dampaknya nyata. Guy Baglow dari klinik MindSpa menceritakan kasus di mana seorang perempuan mengembangkan fobia pisang setelah mengalami sengatan listrik bersamaan dengan melihat buah tersebut.
“Pikiran menciptakan pola untuk menghindari sesuatu yang dianggap berbahaya,” jelasnya.
Baglow juga menangani pasien dengan fobia tomat yang berasal dari pengalaman buruk masa kecil.
“Fobia bisa muncul terhadap apa saja karena trauma dapat terkait dengan objek atau situasi apa pun,” tambahnya.
Baglow menegaskan, meskipun terlihat tidak masuk akal, fobia dapat membatasi hidup seseorang secara signifikan.
Baca: Memahami Self-Care sebagai Manifestasi Maqashid Syariah
Keir Gale, seorang pensiunan dengan koumpounophobia (fobia terhadap kancing), menghindari berbagai situasi yang melibatkan benda tersebut. Ia merasa mual hanya dengan menyentuh kancing dan menghindari penggunaan pakaian tertentu.
Gale mengakui bahwa fobianya ini sulit dipahami oleh orang lain.
“Bagi mereka, itu tidak masalah. Tapi bagi saya, ini sangat nyata,” ungkapnya.
Fobia mungkin tidak selalu masuk akal, tetapi dampaknya pada kehidupan seseorang tidak bisa diabaikan. Baik itu fobia pisang, kancing, atau bahkan rumput, ketakutan ini menunjukkan kompleksitas pikiran manusia dan bagaimana trauma dapat memengaruhi perilaku.