Ikhbar.com: Terbaring lemas di salah satu tempat tidur Rumah Sakit (RS) Eropa di Gaza Selatan, seorang anak berusia lima tahun yang baru belakangan diketahui bernama Ahmed Abu Zariaan, mengalami kondisi yang kian mengkhawatirkan. Telah lebih dari sepekan, Ahmed tak bisa diidentifikasi agar bisa terhubung kembali dengan ayah, ibu, maupun keluarganya yang lain. Ditambah, wajahnya yang rusak terkena percikan bom, kini rapat dibaluti perban.
Ahmed hanya salah satu dari semakin banyaknya anak-anak di Gaza yang didaftarkan dengan status identitas “tidak diketahui” atau dengan akronim WCNSF (Wounded Child No Surviving Familiy/Anak yang Terluka Tidak Ada Keluarga yang Selamat).
Salah satu perawat di RS. Eropa di Gaza, Nour Lafi mengatakan, Ahmed telah dirawat intensif selama dua minggu setelah mengalami luka parah akibat terbakar.
“Wajahnya tidak terlihat sama sekali dan tidak ada yang bisa mengenalinya. Dia tidak disebutkan namanya,” katanya, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Jumat, 16 Februari 2024.
“Tidak ada satu pun ada anggota keluarganya yang tersisa. Aku bisa mendengarnya mengerang kesakitan. Kami mencoba berbicara dengannya, tetapi dia tidak mau mengucapkan sepatah kata pun,” sambung Lafi.
Baca: PBB: 17 Ribu Anak di Gaza Kehilangan Orang Tua
Dipisahkan paksa
Mengutip keterangan nenek Ahmed, Samira Abu Zariaan (60), yang baru bisa mengidentifikasi cucunya setelah 10 hari dirawat, Lafi menyebut Ahmed sebagai korban pengeboman brutal tentara Israel di Gaza.
Menurut penjelasan sang nenek, keluarga Ahmed yang beranggotakan lima orang telah meninggalkan Beit Hanoon dengan menumpang kereta keledai menuju Rafah, di perbatasan Mesir.
“Namun, serangan yang menargetkan rumah-rumah di sepanjang jalan itu kemudian menewaskan seluruh keluarga dan hanya menyisakan Ahmed, bocah yang masih berusia lima tahun itu,” ungkap Lafi.
UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak-anak memperkirakan setidaknya sebanyal 17.000 anak di Jalur Gaza tidak lagi didampingi atau telah terpisah dari keluarga mereka sejak awal konflik meletus pada 7 Oktober 2023 lalu.
Di Gaza, sebagai titik tempur paling brutal itu terjadi selama empat bulan terakhir, para orang tua telah menuliskan nama anak-anak di salah satu bagian tubuh mereka agar bisa diidentifikasi ketika terbunuh atau terluka. Meskipun sangat bermanfaat, tetapi tidak semua orang melakukan itu.
“Sehingga ketika identitas mereka tidak tersedia, rumah sakit terpaksa mengirimkan peringatan di jaringan media sosial dengan harapan ada kerabat korban yang melapor,” kata Lafi.
“Ditambah lagi, jika cedera yang dialami korban anak-anak begitu parah sehingga keluarga mereka sendiri kesulitan mengenalinya,” tambah dia.
Baca: WHO: Tiap 10 Menit 1 Anak di Gaza Terbunuh
Beban psikologis
Setelah berhasil menemukan sang cucu tercintanya, Samira tampak tak sedikit pun bergeser dan turut memberikan perawatan kepada Ahmed, terutama dari sisi psikologis.
“Keadaan emosinya masih sangat sulit,” kata Samira.
“Dia belum banyak bicara. Suaranya bergetar ketakutan. Dia takut dengan suara apa pun di dekatnya,” akunya.
Ahmed sempat bertanya tentang keberadaan ibundanya, tetapi Samira lebih memilih diam karena tidak sanggup untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Ahmed.
“Dia tidak tahu ibunya dibunuh. Saya hanya mengatakan bahwa dia cedera dan perlu istirahat,” kata Samira.
PBB juga memperkirakan sekitar 40% penduduk Gaza telah kehilangan kartu identitas dan dokumen lainnya sehingga lebih sulit untuk mengidentifikasi korhan anak-anak.
“Pemisahan paksa membuat anak-anak terpapar berbagai bahaya dan peningkatan risiko eksploitasi, penelantaran, dan pelecehan,” kata juru bicara UNICEF, Ammar Ammar.
UNICEF juga memperkirakan sekitar 500.000 anak telah membutuhkan dukungan kesehatan mental dan psikososial jauh sebelum serangan ke Gaza oleh Israel dimulai.
Hingga berita ini ditulis, Israel masih terus melakukan penyerangan ke sisa-siwa wilayah Gaza. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Gaza mencatat, lebih dari 28.000 warga Palestina telah terbunuh, termasuk lebih dari 12.000 di antaranya anak-anak.