Ikhbar.com: Surat perintah penangkapan yang dikeluarkan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang menuai respons beragam. Prancis menyatakan bahwa Netanyahu mungkin memiliki kekebalan hukum, karena Israel bukan anggota ICC.
Prancis berargumen bahwa berdasarkan Pasal 98 Statuta Roma, kekebalan diplomatik Netanyahu harus dihormati.
Baca: Indonesia: Kami tidak Percaya Netanyahu!
Namun, para ahli hukum menilai argumen ini lemah, mengingat Pasal 27 Statuta Roma menegaskan bahwa status resmi seseorang tidak membebaskannya dari tanggung jawab pidana di ICC. Dengan demikian, Prancis memiliki kewajiban untuk mematuhi surat perintah ICC.
“Kekebalan tersebut berlaku untuk Perdana Menteri Netanyahu dan menteri-menteri lain yang bersangkutan dan harus dipertimbangkan jika ICC meminta kami untuk menangkap dan menyerahkan mereka,” bunyi pernyataan Kementerian Eropa dan Luar Negeri Prancis, dikutip dari Al Jazeera, pada Jumat, 29 November 2024.
Pendekatan Prancis terhadap Netanyahu berbeda, dibandingkan dengan kasus surat perintah ICC untuk Presiden Rusia Vladimir Putin.
Prancis sebelumnya tegas mendukung penegakan hukum tanpa pengecualian. Sikap ini menimbulkan kritik atas dugaan standar ganda, yang dapat melemahkan kredibilitas hukum internasional.
Baca: Italia Siap Tangkap Netanyahu sesuai Perintah Pengadilan Internasional
Keputusan Prancis untuk mempertimbangkan kekebalan Netanyahu memicu perdebatan tentang masa depan ICC, dan efektivitasnya dalam menangani kejahatan berat.
Sementara itu, Netanyahu kemungkinan besar akan menghindari perjalanan ke wilayah Eropa demi menghindari risiko penangkapan.
Langkah Prancis ini berpotensi menciptakan preseden yang membahayakan upaya global untuk menegakkan keadilan, dan akuntabilitas atas kejahatan serius.