Ikhbar.com: Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) menggelar halaqah dengan tajuk “Nahdlatul Ulama di Tengah Pusaran Perbedaan Awal Puasa Ramadan dan Dua Hari Raya.”
Kegiatan yang berlangsung pada Sabtu-Ahad, 13-14 Januari 2024 itu berlangsung di Pondok Pesantren Nurul Huda Babakan Ciwaringin, Cirebon Jawa Barat dengan dihadiri perwakilan Pengurus Lembaga Falakiyah NU se-Jawa.
Wakil Ketua LF PBNU, KH Shofiyullah mengatakan, acara yang didukung Ma’had Aly Takhashush Ilmu Falak-Astronomi Mu’allimin Mua’allimat itu membahas Qoth’iy ar-Ru’yah NU (QRNU) dan pembahasan persiapan seminar falakiyah internasional.
“Output dari halaqah ini nantinya akan menghasilkan rekomendasi seminar internasional falakiyah Indonesia sekaligus sosialisasi konsep baru Qoth’iy ar-Ru’yah Nahdlatul Ulama (QRNU) kepada dunia,” ujar Kiai Shofiyullah.
Ia menjelaskan, seminar falakiyah internasional akan diselenggarakan pada November tahun ini di Pesantren Amanatul Ummah Mojokerto Jawa Timur.
Acara tersebut mendapat apresiasi dari Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah Kementerian Agama (Kemenag), H Adib. Ia mengatakan, pihaknya mendukung penuh terhadap kegiatan di bidang hisab dan rukyat.
“Terlebih di Babakan sudah ada Ma’had Aly Ilmu Falak, ini akan menjadi partner utama Kemenag dan Lembaga Falakiyah,” katanya.
Narasumber pertama dalam halaqah tersebut, KH Izzuddin berkesempatan menyampaikan materi seputar isu penentuan awal bulan dan awal waktu subuh tentang kajian dan kriteria awal waktu fajar.
“Metode rukyat menjadi bukti bahwa kita sangat rasional dalam hal pelaksanaan waktu ibadah, termasuk waktu subuh. Minus 20° itu sudah berlandaskan kaidah falakiyah. Sebab kriteria waktu subuh sangat dipengaruhi titik geografis dan astronomis yang cukup rumit untuk pengamatan fajar kazib dan shadiq yang sesungguhnya,” jelas Kiai Izzuddin.
“Jadi, kalau ada yang bilang NU terlalu pagi subuhnya, cukup jawab dengan kelakar saja, ‘selisihnya masih menit, jadi tidak signifikan,” imbuhnya.
Narasumber kedua, KH Slamet Hambali berkesempatan menyampaikan dinamika penetapan awal Ramadan dan hari raya di internal NU.
“Dahulu biasa terjadi rukyat mendahului hisab. Kemudian untuk mengatasinya, pada 1998, NU menggunakan Imkan Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia (MABIMS), yakni tinggi hilal 2° sudut elongasi 3° dan lamanya 8 jam,” jelas dia.
Kemudian persoalan baru muncul pada tahun 2006, saat itu, kata dia, ikhbar PBNU berbeda dengan hasil Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.
“Atas peristiwa yang berulang itu, maka diberlakukan aturan mengenai ikhbar, yaitu Pengurus NU Wilayah dan Cabang berkewajiban melaporkan hasil rukyat dan tidak ada kewenangan untuk mengikhbarkan,” ucapnya.
Ia menceritakan, persoalan tidak berhenti di situ. Para astronom sempat mempertanyakan rukyatul hilal. Mereka tidak pernah menangkap atau melihat hilal pada posisi tinggi sesuai kriteria.
“Sehingga, pada tahun 2014 muncul usulan kriteria baru dari MABIMS, namun jawaban dari perwakilan Indonesia, Ina Wahyu Widiana ‘Boleh berubah tapi jangan buru-buru,” kata dia.
Kiai Slamet menyampaikan, sejak saat itu sejumlah kajian rutin diadakan. Hasilnya, pada 2016 disepakati bahwa kriteria MABIMBS baru yaitu 3° dengan sudut elongasi 6.4 dan umur tidak dipersoalkan.
“Terakhir di Denpasar Bali pada 2023 disepakati bahwa sudut elongasi dihitung dari geosentris,” tegas Kiai Slamet.
Narasumber terakhir Dede Wahyudin menyampaikan terkait Waktu Subuh Perspektif Fikih. Ia menegaskan bahwa paradigma waktu salat bersifat lokal.
“NU memegang teguh kaidah awal waktu salat subuh, yaitu munculnya fajar shadiq secara nyata pada saat keadaan masih gelap hingga orang tidak dapat melihat dengan jelas orang yang berada di sampingnya, atau disebut dengan taghlis,” jelasnya.
Menurutnya, pendapat itu berdasarkan hadis riwayat dari ‘Aisyah dan juga berpegang dari beberapa kitab fikih mu’tabar di kalangan NU.