Ikhbar.com: Kewajiban salat tetap melekat pada setiap Muslim meskipun berada dalam kondisi bencana banjir. Situasi darurat, keterbatasan sarana, hingga kondisi lingkungan yang tidak ideal tidak serta-merta menggugurkan kewajiban ibadah tersebut.
Penegasan tersebut disampaikan Ustaz Muhammad Sofi Mubarok dalam unggahan video Instagram @Ivana Amelia pada Ahad, 28 Desember 2025.
Gus Sofi, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa perintah salat dalam Al-Qur’an termasuk ayat yang bersifat tegas dan tidak membuka ruang penakwilan.
“Kalau kita lihat di dalam Al-Qur’an, ayat-ayat yang berbicara tentang kewajiban salat itu tidak bisa ditakwil karena makna dan hukumnya sudah sangat jelas dan tegas, serta tidak bisa dinasakh atau dibatalkan,” ujarnya.
Baca: Hukum Salat dan Tutorial Wudu di Tengah Bencana Banjir
Menurutnya, ketegasan dalil tersebut menegaskan bahwa salat tetap wajib dalam kondisi apa pun, termasuk saat bencana alam seperti banjir yang melanda sejumlah wilayah di Aceh dan Sumatra. Situasi darurat, kata dia, tidak serta-merta menggugurkan kewajiban ibadah tersebut.
Menanggapi persoalan kondisi lingkungan yang kotor akibat banjir, Gus Sofi menekankan bahwa syarat sah salat pada dasarnya sederhana. Ia menjelaskan bahwa seseorang harus suci dari najis, baik pada badan, pakaian, maupun tempat salat.
“Sepanjang seseorang bisa memastikan dan meyakini bahwa pakaian yang melekat di badannya tidak terkena najis, dan tempat sujudnya tidak terlihat ada najis, maka itu sudah cukup memenuhi syarat sah salat,” tuturnya.
Ia menegaskan, bencana tidak dapat dijadikan alasan untuk menganggap salat menjadi tidak wajib. Menurutnya, fikih Islam telah memberikan prinsip yang realistis dan memudahkan umat dalam menjalankan ibadah di situasi sulit.
Gus Sofi juga menjawab pertanyaan terkait pelaksanaan salat bagi para relawan bencana yang kerap berpacu dengan waktu. Ia menjelaskan bahwa dalam Islam terdapat konsep jamak salat sebagai bentuk rukhsah alias keringanan.
“Jamak sering dipersepsikan hanya boleh dilakukan karena safar jauh, padahal dalam beberapa pendapat ulama, Nabi pernah menjamak salat bukan karena safar, sakit, atau hujan,” jelasnya.
Ia merujuk pada sejumlah pendapat ulama yang tercantum dalam kitab Fathul Bari, yang menyebutkan bahwa jamak salat diperbolehkan ketika terdapat kondisi mendesak atau masyaqah, yakni kesulitan yang nyata.
Menurut Gus Sofi, situasi relawan bencana yang harus segera menyalurkan bantuan, mendistribusikan logistik, atau mengevakuasi korban termasuk dalam kategori tersebut.
“Dalam kondisi seperti itu, sebagian ulama membolehkan jamak salat, baik jamak takdim maupun jamak takhir,” katanya.
Ia menjelaskan, jamak takdim dilakukan dengan menggabungkan salat Zuhur dan Asar di waktu Zuhur, sedangkan jamak takhir dilaksanakan di waktu Asar.
Melalui penjelasan tersebut, Gus Sofi berharap masyarakat tidak ragu menjalankan salat meskipun berada dalam situasi darurat. Ia menekankan bahwa ajaran Islam memberikan panduan yang jelas, tegas, sekaligus penuh kemudahan agar ibadah tetap dapat dilaksanakan dengan baik, termasuk di tengah musibah banjir.