Ikhbar.com: Pengasuh Ma’had Al-Iktisyaf Pondok Pesantren Gedongan Cirebon, KH Muhammad Syauqi menyoroti perubahan besar yang terjadi di tengah masyarakat akibat perkembangan teknologi dan informasi. Gus Syauqi, sapaan akrabnya, menegaskan bahwa santri tidak boleh menutup mata terhadap perubahan tersebut.
“Keberadaan media sosial dan perangkat digital telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap manusia modern, termasuk santri, pada akhirnya tidak bisa memisahkan diri dari ruang digital yang semakin luas dan berpengaruh,” katanya saat membuka acara Workshop Digitalisasi Pesantren, Optimalisasi Pemanfaatan Media Digital dalam Peningkatan Syiar Dakwah Pesantren, di Ma’had Al-Iktisyaf Pesantren Gedongan Cirebon, Kamis, 11 Desember 2025.
Kedekatan dengan teknologi, menurutnya, tidak boleh membuat santri melepaskan prinsip dan etika yang selama ini menjadi bagian dari tradisi pesantren.
“Maka sebagai santri tentunya menghadapi dan mengikuti teknologi informasi dan medsos tidak bisa sembarang,” ujar Gus Syauqi di hadapan puluhan peserta.
Baca: Riwayat Gedongan, Pesantren Berfondasi Tasawuf sekaligus Fikih Peradaban
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa keterlibatan santri dalam ruang digital adalah hal yang tak terhindarkan, namun cara berinteraksi di dalamnya harus tetap berlandaskan nilai yang ditanamkan di pesantren. Ia menegaskan bahwa dunia digital memiliki aturan moral yang menuntut kejernihan sikap.

Gus Syauqi menjelaskan bahwa media digital membawa banyak manfaat untuk kegiatan belajar dan dakwah. Akses pengetahuan menjadi lebih luas, informasi dapat diperoleh dengan cepat, dan pesan kebaikan bisa menjangkau lebih banyak orang. Namun, manfaat tersebut datang bersama risiko berupa limpahan informasi yang tidak semuanya akurat atau layak disebarluaskan.
“Media ini penting karena banyak manfaatnya. Tetapi di sisi lain, informasi yang datang juga harus difilter. Kita dalam bermedia perlu memiliki etika dan secara bijak dalam menggunakan media sosial,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa kemampuan memfilter informasi merupakan bagian dari tanggung jawab moral. Dalam pandangannya, santri perlu bersikap tenang saat menerima informasi di media sosial. Mereka dituntut mampu menimbang, menilai, dan memastikan bahwa setiap tindakan digital tidak menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri atau orang lain.
Gus Syauqi beberapa kali menekankan pentingnya etika sebagai fondasi. Etika tidak hanya mencakup kesopanan, melainkan juga kesadaran untuk menjaga martabat pribadi dan lembaga. Ia menegaskan bahwa identitas santri membawa nilai luhur yang harus tetap dijaga, termasuk saat hadir di ruang media sosial yang serba cepat.
Dalam sambutannya, ia mengingatkan bahwa media sosial sering menjadi ruang yang dipenuhi dinamika, mulai dari perdebatan, hoaks, provokasi, hingga konten yang tidak memberi manfaat. Karena itu, ia meminta santri agar tidak larut dalam pola komunikasi yang merugikan dan tidak sesuai dengan karakter pelajar pesantren. Menurutnya, kebiasaan membagikan informasi tanpa memastikan kebenaran hanya akan memperpanjang kekacauan informasi.
Gus Syauqi juga menyoroti perlunya kedewasaan dalam memanfaatkan teknologi. Ia melihat bahwa kemudahan akses sering membuat manusia lupa bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Di dunia digital, jejak informasi bersifat permanen dan dapat menimbulkan dampak jangka panjang.
“Santri jangan gegabah dan memahami bahwa tanggung jawab digital sama pentingnya dengan tanggung jawab di kehidupan nyata,” pungkasnya.
Workshop tersebut menghadirkan tiga narasumber dari berbagai latar belakang, mulai dari jurnalisme, akademisi, hingga praktisi media sosial. CEO Ikhbar.com, KH Sobih Adnan; Dosen UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Gus Sofi Mubarok; serta influencer Ning Ivana Amelia memberikan pandangan yang saling melengkapi mengenai peran santri di ruang digital tanpa mengabaikan marwah kepesantrenan.
Acara ini digelar dengan dukungan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) RI.