Rawan Burnout, Pria di Cina Resign dan Dirikan Komunitas ‘Korban’ Kelelahan Kerja

Klien bermeditasi dan tidur di pusat kebugaran di Shanghai. EPA/Alex Plavevski

Ikhbar.com: Budaya kerja “996” di Tiongkok, yang berarti bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam selama enam hari dalam seminggu, telah lama menjadi simbol etos kerja keras di industri negara tersebut.

Sistem “996” dipandang mendorong produktivitas maksimal, akan tetapi dinilai kerap memakan korban dengan menciptakan generasi pekerja yang kelelahan secara fisik dan mental. Bahkan, gelombang protes terhadap budaya ini telah melahirkan istilah seperti “neijuan” (involusi), yang menggambarkan persaingan tanpa henti yang tidak membawa hasil, serta “tangping” (berbaring datar), perlawanan pasif untuk keluar dari siklus kerja yang melelahkan.

Salah satu korban sistem ini adalah Li Jianxiong, mantan eksekutif pemasaran di Beijing. Setelah bertahun-tahun menjalani pola kerja “996,” pada 2018, tubuh Li mulai merasakan sebuah tanda peringatan.

Ia mengaku mengalami insomnia parah, jantung berdebar, dan ruam kulit yang menyebar.

“Saya merasa seperti kehilangan kendali atas hidup saya,” ungkap Li, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Selasa, 7 Januari 2025.

Li Jianxiong, mantan eksekutif pemasaran di Beijing. THE GUARDIAN/Sean Gallagher

Baca: Wahai Gen Z! Ini Kiat agar tak Gampang ‘Kena Mental’ dari Al-Ghazali

Menghadapi kelelahan ekstrem yang tidak kunjung reda, Li akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya yang padahal cukup bergengsi itu. Setelah resign, ia memulai perjalanan selama tiga tahun untuk menemukan kembali keseimbangan dalam hidupnya.

Li menjelajahi berbagai pendekatan spiritual dan pengembangan diri. Ia belajar meditasi di situs-situs suci Tao di Provinsi Hubei, bergabung dengan komunitas penyembuhan ekologis di Guizhou, serta mengikuti retret pengembangan diri Kristen di Amerika Serikat (AS). Tidak hanya itu, ia juga mempelajari agama di Universitas Columbia, memperdalam psikologi positif, dan membaca biografi tokoh inspiratif seperti Gandhi dan Ibu Teresa.

“Saya seperti burung phoenix yang bangkit dari abu,” ujar Li, menggambarkan transformasi dirinya dari seseorang yang hampir hancur menjadi pribadi yang lebih kuat.

Pengalaman tersebut, lanjut Li, telah memberinya wawasan mendalam tentang pentingnya keseimbangan antara pekerjaan, kehidupan pribadi, dan kesehatan mental.

Baca: Tafsir QS. At-Taubah Ayat 105: Keseimbangan Hidup dalam Islam, Kritik Budaya ‘Gila Kerja’ ala Jepang

Singkat kisah, pada April 2021, Li kembali ke Beijing dan mendirikan Heartify, sebuah komunitas yang didedikasikan untuk membantu individu yang mengalami kelelahan kerja. Komunitas ini menawarkan berbagai program, termasuk meditasi terpandu, lokakarya pengembangan diri, dan diskusi kelompok. Tujuannya adalah membantu para anggotanya menemukan kembali makna hidup serta menyeimbangkan antara ambisi karier dan kesehatan mental.

Heartify memadukan pendekatan spiritual dengan metode modern, mengambil inspirasi dari ajaran Buddha dan praktik meditasi. Komunitas tersebut kini telah berhasil menarik ratusan peserta yang sebagian besar dari mereka adalah generasi muda yang bekerja di sektor teknologi.

“Program Heartify dirancang untuk membantu mereka yang ingin bangkit dari tekanan hidup tanpa harus menyerah pada karier mereka,” kata Li.

Heartify lahir di tengah gelombang perubahan sosial yang signifikan di Tiongkok. Budaya kerja “996” telah memunculkan krisis kesejahteraan mental yang mengakar. Survei salah satu lembaga tepercaya di negara itu menunjukkan sekitar setengah dari pekerja di sektor teknologi melaporkan kelelahan ekstrem dan gejala kesehatan mental lainnya.

Komunitas ini telah berkembang menjadi ruang bagi individu untuk merenung, berbagi pengalaman, dan belajar mengatasi tekanan tanpa merasa terisolasi.

Heartify adalah tempat saya merasa lebih didengar dan dimengerti,” kata seorang anggota komunitas tersebut.

Dalam jangka panjang, Li berharap Heartify dapat menjadi model untuk inisiatif serupa di berbagai negara. Ia juga menyerukan kepada perusahaan untuk lebih peduli terhadap kesejahteraan karyawan.

“Produktivitas jangka panjang hanya dapat dicapai jika perusahaan mulai memprioritaskan kesehatan mental karyawan mereka,” jelas Li.

Beberapa perusahaan teknologi di Tiongkok bahkan mulai menjajaki kerja sama dengan Heartify untuk memberikan dukungan kesehatan mental bagi karyawan mereka.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.