Pesantren Diajak Perkuat Literasi Medsos lewat Penerapan Rumus 4A, Apa Itu?

Influencer sekaligus pegiat literasi digital, Ning Ivana Amelia, saat menyampaikan materi dalam Workshop Digitalisasi Pesantren: Optimalisasi Pemanfaatan Media Digital dalam Peningkatan Syiar Dakwah Pesantren, yang digelar di Ma’had Al-Iktisyaf, Pesantren Gedongan Cirebon, Kamis, 11 Desember 2025. Foto: IKHBAR/FSJ

Ikhbar.com: Influencer sekaligus pegiat literasi digital, Ning Ivana Amelia, menegaskan pentingnya etika bermedia sosial bagi kalangan santri di era digital.

Pesan tersebut ia sampaikan dalam Workshop Digitalisasi Pesantren: Optimalisasi Pemanfaatan Media Digital dalam Peningkatan Syiar Dakwah Pesantren, yang digelar di Ma’had Al-Iktisyaf, Pondok Pesantren Gedongan Cirebon, Kamis, 11 Desember 2025.

Dalam paparannya, Ning Ivana menekankan bahwa literasi digital tidak sekadar kemampuan memakai gawai, tetapi juga kebijaksanaan dalam menggunakannya.

Digital literacy is not the ability to use tools, but the wisdom to use them responsibly (Literasi digital bukanlah sekadar kemampuan menggunakan alat, tetapi kebijaksanaan untuk menggunakannya secara bertanggung jawab),” ujarnya di hadapan para santri.

Menurut Ning Ivana, santri memiliki modal besar dalam menghadapi tantangan dunia digital karena terbiasa dengan tradisi keilmuan yang ketat, kedekatan dengan guru, serta disiplin adab. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa nilai-nilai tersebut sering kali tidak otomatis terbawa ke media sosial (medsos).

Baca: Ini Tantangan Besar Pesantren di Era Digital

“Di pesantren, santri diajarkan musyawarah, tabayun, menghormati guru, dan menjaga adab. Tapi ketika masuk ke dunia digital yang penuh spontanitas dan viralitas, nilai-nilai itu bisa hilang kalau tidak disadari,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa medsos memiliki karakter yang berbeda, yakni cepat, bebas, penuh clickbait, serta minim klarifikasi. Perbedaan inilah yang kerap membuat santri terbawa arus, menjadi reaktif, hingga tanpa sadar ikut menyebarkan informasi yang tidak jelas sumbernya.

Dalam kesempatan itu, Ning Ivana juga menjelaskan bagaimana algoritma medsos dapat menciptakan ruang echo chamber yang mempersempit cara berpikir. Algoritma tersebut menentukan apa yang dilihat pengguna dan apa yang dianggap benar.

“Kalau tidak hati-hati, algoritma bisa menggantikan otoritas ilmu. Akhirnya, yang viral dianggap benar, padahal bukan begitu cara pesantren menempatkan ilmu,” katanya.

Ia juga menyoroti budaya anonimitas yang membuat sebagian pengguna merasa bebas tanpa konsekuensi.

“Orang merasa tidak dikenal, jadi komentar seenaknya. Padahal santri harus menjaga marwah, baik di dunia nyata maupun digital,” tambahnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Ning Ivana menawarkan “Rumus 4A” sebagai panduan santri dalam bermedia sosial:

1. Akal

Santri diajak untuk selalu tabayun sebelum percaya atau membagikan sebuah konten.

“Periksa siapa yang memposting, cek sumbernya, baca utuh, jangan hanya lihat potongan video 10 detik,” pesannya.

2. Adab

Tidak memotong konteks saat membagikan ceramah, menahan diri dari konten destruktif, serta menghindari komentar yang tidak perlu.

3. Amanah

Konten yang dibuat santri sebaiknya edukatif, menjaga kesakralan pesantren, dan tidak semata-mata mengejar viral.

“Boleh ikut tren, tapi jangan sampai memperolok pesantren atau kiai,” kata Ivana.

4. Algoritma

Santri diminta mengelola konsumsi digital dengan membatasi waktu scrolling, mengkurasi akun yang diikuti, serta membuat standar editorial sebelum mengunggah konten.

Workshop ini menarik antusiasme para santri karena memberikan perspektif baru tentang dakwah digital. Ning Ivana menyebut bahwa menjadi kreator konten hanyalah profesi, sedangkan menjadi santri adalah identitas yang harus dijaga.

“Santri itu membawa nama baik pesantren. Setiap konten adalah cermin dari nilai-nilai yang dipelajari di dalamnya,” tegasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.