Perbedaan dan Keberagaman Bukan untuk Diperdebatkan, kata Gusdurian

Program Manager Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Tri Noviana dalam acara Kongkow Bareng Gusdurian Jogja pada Forum Belajar Festival Beda Setara (Best Fest). Foto: GUSDURIAN.

Ikhbar.com: Program Manager Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Tri Noviana mengimbau para anak muda untuk berhenti memperdebatkan perbedaan dan keberagaman. Pasalnya, jika masih dibiarkan, maka hal itu berpotensi menimbulkan perpecahan.

Pernyataan tersebut disampaikan Tri dalam acara Kongkow Bareng Gusdurian Jogja pada Forum Belajar Festival Beda Setara (Best Fest) yang berlangsung di kompleks kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Selasa, 12 November 2024.

“Untuk itu, saat ini penting bagi kita untuk mengampanyekan gerakan toleransi dan kebebasan beragama secara masif di kalangan anak muda,” ujar dia.

Ia menilai, toleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan secara masif dilakukan tak lain untuk membela hak-hak kelompok rentan. Salah satu yang perlu dilakukan adalah membangun kesetaraan antaragama-kepercayaan, maupun antarsuku-gender dan sebagainya.

Baca: Gusdurian: Penolakan Pendirian Rumah Ibadah masih Jadi PR Kebebasan Beragama di Indonesia

“Dalam hal ini, agama dan kepercayaan merupakan bagian dari keberagaman Indonesia dan tidak perlu menjadi ajang perdebatan,” katanya.

Ia menekankan bahwa gerakan toleransi harus berfokus pada pembelaan hak-hak kelompok rentan. Selain itu, upaya membangun kesetaraan antaragama juga perlu terus dilakukan.

“Aspek lainnya yakni membangun antarkepercayaan, antar suku, gender, dan latar belakang lainnya,” imbuhnya.

Menurutnya, dalam konteks Indonesia, pembahasan keberagaman agama kerap kali menjadi isu sensitif. Untuk itu, Tri mengajak anak muda agar mampu mengemas isy tersebut sebagai upaya pemenuhan hak warga negara.

“Langkah ini bisa kita lakukan secara bersama. Sebaliknya, memperdebatkan agama dan kepercayaan itu justru akan memecah belah masyarakat dan tentu akan berakhir konflik antaragama dan kepercayaan,” jelas Tri.

Lebih lanjut, Tri mengajak generasi muda untuk mulai membangun toleransi dari lingkup terkecil, seperti melalui gerakan pertemanan, komunitas kampus, dan gerakan di daerah masing-masing. 

“Hal terkecil apa pun yang bisa kita lakukan untuk membangun toleransi, lakukanlah! dan akar dari semua ini adalah soal kesetaraan serta kemanusiaan. Kita tidak perlu memperdebatkan bagaimana cara ibadahnya, kitabnya, dan sebagainya karena itu keyakinan masing-masing,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Tri juga menyoroti kebiasaan di Indonesia yang sering kali membawa bahasa agama yang dianut seseorang pada ruang perbincangan. Hal itu menurutnya berbeda dengan di luar negeri yang pembahasan hal itu masih dianggap tabu. 

“Kita tidak berhak mencampuri urusan ide apa, cara beribadahnya bagaimana, tetapi kita punya hak dan kewajiban untuk saling membela karena kita sama-sama manusia dan berada di Indonesia dan penuh dengan keberagaman suku etnis maupun agama dan kepercayaan yang sangat beragam,” ucapnya. 

Ia berharap gerakan toleransi dapat menjadi nilai kolektif yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Prinsip tersebut menurutnya sejalan dengan ajaran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang selalu mendukung keberagaman dan kebebasan beragama. 

Menurut Tri, saling menghormati perbedaan adalah kunci untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan harmonis di tengah keberagaman yang ada.

“Ini yang bisa kita lakukan secara bersama secara dan kolektif untuk menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi seperti apa yang sudah diajarkan oleh Gus Dur,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.