Ikhbar.com: Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa fatwa tidak bisa bersumber dari Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan. Penetapan hukum Islam, menurut MUI, hanya bisa dilakukan ulama yang memiliki kapasitas keilmuan, bukan mesin.
Penegasan itu disampaikan Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis saat menjadi narasumber dalam Konferensi Internasional ke-10 Sekretariat Jenderal Lembaga dan Badan Fatwa di Dunia yang berlangsung di Kairo, Mesir pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Dalam forum tersebut, ia membawakan materi berjudul “Menciptakan Mufti yang Rasional di Era Kecerdasan Buatan.”
Kiai Cholil menilai, AI tidak bisa dijadikan mufti atau pengambil fatwa karena tidak memiliki kesadaran sebagaimana manusia. Padahal, kesadaran merupakan syarat utama dalam menetapkan fatwa.
Baca: MUI Kritik Kebijakan Pemblokiran Rekening Nganggur, Ini Alasannya!
“Seorang mufti harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang yurisprudensi Islam. Meski kecerdasan buatan adalah karunia dan berkah yang besar dari Allah,” ujarnya dikutip dari laman MUI pada Selasa, 19 Agustus 2025.
Menurutnya, fatwa adalah hasil ijtihad ilmiah yang mendalam, berlandaskan Al-Qur’an, Sunah, ijma’, serta qiyas. Oleh sebab itu, mufti harus seorang ulama yang memiliki keilmuan, kejujuran, keadilan, serta pemahaman mendalam terhadap teks-teks syariah dan realitas kontemporer.
AI hanya alat, bukan penentu hukum
Kiai Cholil menjelaskan, AI bisa dimanfaatkan secara positif, misalnya membantu peneliti atau sarjana dalam menganalisis hukum Islam secara lebih luas. Namun, ia menegaskan AI tidak bisa menggantikan peran mujtahid.
“Kecerdasan buatan dapat memberikan jawaban atau saran atas suatu masalah hukum. Namun, ia tetap tidak memiliki kesadaran manusia, dan kesadaran itu harus ada dalam mengeluarkan fatwa,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa AI bersifat anonim sehingga tidak bisa memikul tanggung jawab atas fatwa yang dihasilkan. Tanggung jawab tersebut hanya dapat diemban oleh manusia yang berilmu dan berintegritas.
Lembaga fatwa tetap relevan
Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah itu juga menekankan pentingnya keberadaan lembaga fatwa. Menurutnya, lembaga fatwa di dunia Islam, termasuk MUI, memiliki metodologi yang jelas dalam memutuskan hukum.
Metodologi tersebut antara lain dengan melakukan ijtihad kolektif, mempertimbangkan pendapat lintas mazhab, serta menyesuaikan hukum dengan realitas sosial yang berkembang. Dengan cara ini, fatwa tidak hanya sah secara syar’i, tetapi juga memiliki legitimasi untuk dipertanggungjawabkan di hadapan umat dan Allah.
“Keberadaan mufti dan lembaga fatwa merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar, agar setiap keputusan hukum Islam memiliki pihak yang bertanggung jawab di hadapan manusia dan Tuhan. Islam tetap harus merespons perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan,” kata Kiai Cholil.
Sebagai penutup, ia mengingatkan bahwa teknologi, termasuk AI, harus ditempatkan dalam kerangka etis yang sesuai ajaran Islam. Tujuannya agar pemanfaatannya membawa kebaikan, menghormati nilai moral, serta menjaga hak asasi manusia.