Ikhbar.com: Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. KH Abdul Mu’ti mengungkapkan istilah “mualaf” bagi mereka yang berpindah atau masuk ke agama Islam perlu ditinjau ulang.
Menurut sosok yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI tersebut, sebutan “mualaf” seharusnya tidak digunakan sepanjang hidup seseorang, terutama jika keimanan mereka sudah kokoh dan mantap.
“Mualaf itu seseorang yang dalam keadaan hatinya mudah digoyahkan,” ujar Kiai Mu’ti, sebagaimana dikutip dari laman muhammadiyah.or.id, pada Kamis, 14 November 2024.
Baca: Warga Eropa Ramai-ramai Masuk Islam
“Bila seseorang telah mencapai kedalaman iman, maka tidak relevan lagi baginya untuk disebut mualaf,” lanjutnya.
Kiai Abdul Mu’ti juga menyoroti implikasi dari pemberian label “mualaf” yang berkepanjangan. Jika istilah ini terus melekat, maka seseorang tersebut mungkin berhak menerima zakat, meskipun kondisi ekonominya telah mapan atau bahkan kaya raya. Hal ini, menurut Kiai Mu’ti, adalah penyimpangan yang tidak sejalan dengan prinsip Islam.
Lebih jauh, Kiai Mu’ti menekankan bahwa istilah “mualaf” seharusnya tidak terbatas pada orang yang baru saja masuk Islam. Bahkan, seorang Muslim sejak lahir pun bisa disebut “mualaf” jika pemahamannya tentang Islam masih dangkal atau lemah.
Dalam penjelasannya, Kiai Mu’ti mengulas makna kata “qulubuhum” yang muncul dalam At-Taubah ayat 60.
“Kata ‘Qulub‘ yang berarti hati dalam konteks Al-Qur’an, sering kali dikaitkan dengan sikap yang tidak konsisten atau hati yang mudah goyah ketika menghadapi situasi sulit atau tidak sesuai keinginan,” ungkapnya.
Baca: Gelombang Mualaf Jepang Dikaitkan Netizen dengan QS. An-Nashr Ayat 2, Begini Tafsirnya
Dalam pandangan Muhammadiyah yang merujuk pada Fatwa Tarjih, sebagaimana tercantum dalam buku Tanya Jawab Agama jilid 4, predikat “mualaf” tidak harus melekat secara permanen pada seseorang yang masuk Islam. Berdasarkan QS. At-Taubah: 60, istilah itu lebih tepat disematkan pada orang yang hatinya mudah dipengaruhi atau masih dalam tahap peneguhan iman.
Oleh karena itu, menurutnya, Muhammadiyah berupaya mengokohkan komunitas “mualaf” melalui pembinaan, dengan tujuan agar hati mereka tetap teguh dalam Islam.
“Peneguhan ini dilakukan dengan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan sosial, untuk mengukuhkan iman mereka secara lebih mendalam dan berkelanjutan,” katanya.