Kiai Marzuki Wahid: Gus Dur masih Jadi Inspirasi Anak Muda

Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), KH Marzuki Wahid. Foto: Facebook Marzuki Wahid.

Ikhbar.com: Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, masih menjadi figur yang layak dijadikan teladan, termasuk bagi generasi muda. Hal ini disampaikan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, KH Marzuki Wahid, dalam malam puncak Haul ke-15 Gus Dur yang digelar di Aula Kampus ISIF pada Kamis malam, 13 Februari 2025.

Dalam acara bertema “Agama untuk Kemanusiaan dan Krisis Iklim” tersebut, Kiai Marzuki menegaskan bahwa keistimewaan Gus Dur tidak hanya terletak pada pemikirannya, tetapi juga pada kebijaksanaan serta ketulusannya dalam membela nilai-nilai kemanusiaan.

Baca: Gusdurian Cirebon Beri Pesan Pentingnya Peduli Lingkungan

“Banyak generasi muda saat ini tidak pernah bertemu langsung dengan Gus Dur, tetapi pemikiran dan perjuangannya tetap hidup di tengah masyarakat,” ujarnya.

Menurut Kiai Marzuki, sosok Gus Dur telah mewakili berbagai elemen, mulai dari tokoh Muslim, Nahdlatul Ulama (NU), hingga seniman. Namun, yang paling utama, kata dia, perjuangan Gus Dur selalu berlandaskan pada nilai kemanusiaan.

“Dan satu yang diperjuangkan oleh Gus Dur adalah kemanusiaan,” tegasnya.

Sejumlah tokoh agama dari berbagai komunitas hadir dalam Haul ke-15 Gus Dur di Aula Kampus ISIF, Cirebon, pada Kamis malam, 13 Februari 2025.

 

Dalam kesempatan itu, Kiai Marzuki mengutip salah satu pertanyaan reflektif yang pernah diajukan Gus Dur, “Agama untuk manusia, atau manusia untuk agama?” Ia menilai, pertanyaan ini mencerminkan inti perjuangan Gus Dur dalam membela hak-hak mereka yang mengalami ketidakadilan.

“Belalah orang yang diberlakukan tidak adil, dan itulah yang dilakukan Gus Dur,” katanya.

Baca: Haul Ke-15 Gus Dur di Cirebon Soroti Isu Lingkungan

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pada hakikatnya, Tuhan yang disembah setiap manusia adalah satu, yaitu Dzat yang menciptakan alam semesta. Perbedaan muncul bukan pada Tuhan itu sendiri, melainkan pada cara manusia membangun konstruksi pemikiran tentang-Nya.

“Kalau Tuhannya sama, apa yang harus diperdebatkan? Yang berbeda adalah persepsinya, yang berbeda adalah ritualnya. Dan di situlah esensi dari toleransi,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.