Ikhbar.com: Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Siber Syekh Nurjati Cirebon, Gus Sofi Mubarok, menegaskan bahwa pesantren tidak boleh abai terhadap derasnya arus informasi digital yang membentuk ‘Desa Global’.
Penegasan tersebut ia sampaikan dalam Workshop Digitalisasi Pesantren bertema Optimalisasi Pemanfaatan Media Digital dalam Peningkatan Syiar Dakwah Pesantren di Ma’had Al-Iktisyaf Pesantren Gedongan Cirebon, pada Kamis, 11 Desember 2025.
Gus Sofi menjelaskan bahwa media sosial (medsos) telah menjadi ruang baru yang memengaruhi arah wacana keagamaan. Ia menekankan bahwa dakwah kini bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjaga akidah dan akhlak masyarakat di tengah derasnya nilai baru yang masuk melalui dunia digital.
Menurutnya, ruang publik digital telah mengubah batas dakwah yang sebelumnya berjalan secara konvensional. Pesantren yang selama ini dikenal sebagai benteng moral masyarakat harus tampil aktif di platform digital agar ajaran Islam Wasathiyah tetap memiliki ruang dan pengaruh.
Dalam penyampaiannya, Gus Sofi menguraikan sejumlah tantangan besar yang kini dihadapi pesantren. Ia menyoroti gejala Death of Expertise, yakni kecenderungan sebagian masyarakat untuk lebih percaya pada konten viral dibandingkan otoritas keilmuan.
Baca: Santri Harus Beretika di Media Sosial
“Tantangan lain adalah munculnya sosok anonim yang tiba-tiba tampil sebagai ustaz tanpa sanad keilmuan yang jelas,” ujarnya.
Ia juga menyinggung fenomena echo chamber yang memperkuat ekstremisme digital, maraknya hoaks serta budaya post-truth yang mempermainkan emosi publik, dan filter bubble yang membuat pengguna hanya menerima pandangan tertentu saja.
Selain itu, kata dia, pesantren tengah dihadapkan dengan krisis eksistensial akibat melimpahnya informasi post-modern yang tidak tersaring dengan baik.
“Pesantren harus mengambil kembali peran otoritatifnya dalam transmisi ilmu keagamaan yang bersanad, agar masyarakat tidak terombang-ambing oleh narasi dangkal dan instan di dunia digital,” tegasnya.
Gus Sofi menjelaskan bahwa dunia kini bergerak menuju ekosistem informasi yang serba instan dan tanpa batas. Kondisi tersebut memungkinkan konten positif maupun ekstremis menyebar secara bersamaan tanpa filter.
“Pesantren tidak lagi bersaing pada tataran lokal, melainkan berhadapan dengan pasar ide yang berskala global. Karena itu, narasi keagamaan yang dikembangkan lembaga pendidikan Islam harus kuat, moderat, dan dapat diterima oleh audiens yang lebih luas,” katanya.
Lebih lanjut, Gus Sofi menekankan bahwa mekanisme tafaqquh fiddin, sanad keilmuan, serta tradisi epistemologis pesantren merupakan modal besar untuk menghadirkan narasi tandingan atas banjir konten instan di dunia maya.
Ia menyebut pesantren sebagai pusat produksi pengetahuan yang memiliki legitimasi kuat untuk menjaga nilai-nilai Islam yang damai, toleran, dan inklusif di tengah fragmentasi pemahaman keagamaan.
Sebagai penutup, Gus Sofi menawarkan peta jalan inovasi dakwah yang dinilai mampu membantu pesantren beradaptasi di era digital. Ia mendorong lahirnya konten edukatif yang ramah digital dan mudah disebarkan, serta peningkatan literasi digital santri agar memiliki kemampuan berpikir kritis dan melakukan cek fakta.
Ia juga menyoroti pentingnya pembangunan ekosistem digital pesantren melalui kolaborasi lintas lembaga dan pengelolaan multi-platform, penguatan kembali peran kiai sebagai rujukan keilmuan melalui konten digital, serta upaya mengintegrasikan tradisi dengan modernitas tanpa kehilangan nilai dasar.
Menurutnya, tanpa strategi adaptif yang jelas, pesantren akan tertinggal dari arus informasi yang bergerak sangat cepat.
“Kecepatan perubahan sosial hari ini jauh melampaui kemampuan dakwah tradisional. Maka inovasi adalah keniscayaan,” tandasnya.