Ikhbar.com: Israel tengah mengalami peningkatan segregasi (pemisahan) berdasarkan jenis kelamin di pusat-pusat fasilitas publik. Fenomena ini terjadi usai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memasukkan partai-partai ekstremis sayap kanan dan ultra ortodoks ke dalam koalisi pemerintah.
Moran Zer Katzenstein, yang mengepalai Bonot Alternativa, sebuah kelompok pro-demokrasi, serta kelompok payung organisasi perempuan nonpartisan mengatakan, apa yang sedang terjadi di sini bukanlah masalah kiri dan kanan. Menurut dia, pemerintah telah mengubah aturan main sehingga berpotensi berdampak buruk pada perempuan.
“Hak kami yang akan pertama kali dirugikan,” ungkap dia, dikutip dari The New York Times, pada Selasa, 15 Agustus 2023.
Baca: Beban Ganda Atlet Perempuan Muslim Dunia
Media-media berita Israel telah melaporkan insiden-insiden diskriminatif yang terjadi, termasuk penolakan pengemudi bus untuk menjemput perempuan yang mengenakan atasan atau pakaian olahraga, serta aksi pria ultra-ortodoks yang menghentikan bus karena dikemudikan seorang perempuan.
Dalam laporan Kesenjangan Gender Global yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia, Juni lalu, Israel berada di posisi ke-83, turun dari posisi ke-60. Meskipun laporan itu mencatatkan Israel di peringkat pertama dalam hal pendidikan perempuan, akan tetapi dalam ranah pemberdayaan politik perempuan merosot ke peringkat 96 dari peringkat 61.
“Posisinya saat ini tepat di bawah Pakistan,” tulis laporan tersebut.
Profesor Ilmu Pengobatan Universitas Tel-Aviv, Amir Tirosh mengatakan, perempuan akan kehilangan lebih banyak sumber daya keuangan karena sebagian besar diinvestasikan dalam program laki-laki.
“Siswa perempuan dialihkan ke pekerjaan yang biasanya dilihat sebagai wilayah perempuan, dan pemisahan jenis kelamin menyebar ke tempat kerja dan tempat umum,” ungkap dia.
Baca: Daftar Negara Mayoritas Muslim Paling Ramah Perempuan, Indonesia Urutan Berapa?
The New York Times juga melaporkan, ancaman terbaru bagi perempuan adalah rancangan undang-undang yang diajukan koalisi untuk memperluas wewenang pengadilan agama Yahudi Ortodoks. Saat ini, tulis laporan itu, pengadilan memiliki hak untuk mengurus perceraian bagi orang Yahudi di Israel, dengan laki-laki sebagai satu-satunya pihak yang memiliki kewenangan untuk secara resmi mengakhiri pernikahan.
Rancangan ini juga akan memberikan pengadilan wewenang atas putusan ekonomi perceraian, dan berdiri sebagai penengah dalam kasus perdata, seperti konflik perburuhan atau perselisihan kontrak, dengan persetujuan semua pihak yang terlibat. Kritik menyatakan bahwa persetujuan mungkin tidak selalu diberikan secara sungguh-sungguh.
“Jika parlemen menyetujui rencana ini yang telah melewati tahap awal, maka itu akan mengubah putusan Mahkamah Agung 2006 yang membatasi peran pengadilan agama Yahudi Ortodoks dalam masalah perdata,” tulis mereka.