Ikhbar.com: Banjir besar dan longsor dahsyat yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera memaksa ribuan warga mengungsi. Permukiman terendam, akses jalan rusak, dan distribusi bantuan tersendat.
Dalam situasi darurat semacam ini, donasi publik mengalir dari individu, komunitas, hingga lembaga sosial. Berdasarkan perspektif Islam, donasi merupakan bentuk ibadah sosial yang tunduk pada ketentuan fikih, menyangkut akad, amanah, serta tanggung jawab hukum.
Islam mendorong umatnya untuk menolong sesama sekaligus mengatur tata cara penyaluran bantuan. Pengaturan tersebut bertujuan mencegah salah kelola, konflik, dan penyalahgunaan dana umat.
Baca: Pengendalian Banjir di Masa Kekhalifahan Islam
Dari sunah ke fardhu kifayah
Dalam kondisi normal, donasi bencana termasuk sedekah dan hukumnya sunah. Status hukum ini dapat berubah ketika jumlah korban besar, kebutuhan mendesak belum terpenuhi, serta dana negara, baik APBN maupun APBD, tidak mencukupi. Pada situasi seperti itu, kewajiban menolong meningkat menjadi fardhu kifayah atau kewajiban kolektif.
Rasulullah Muhammad Saw menegaskan prinsip solidaritas sosial tersebut secara tegas:
اللّٰهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Imam An-Nawawi dalam Raudhatut Thalibin menjelaskan kewajiban kolektif itu dalam konteks krisis sosial yang nyata:
وَمِنْهَا مَا يَتَعَلَّقُ بِمَصَالِحِ الْمَعَايِشِ وَانْتِظَامِ أُمُورِ النَّاسِ، كَدَفْعِ الضَّرَرِ عَنِ الْمُسْلِمِينَ، وَإِزَالَةِ فَاقَتِهِمْ، كَسَتْرِ الْعَوْرَةِ، وَإِطْعَامِ الْجَائِعِينَ، وَإِغَاثَةِ الْمُسْتَغِيثِينَ فِي النَّائِبَاتِ، فَكُلُّ ذَلِكَ فَرْضُ كِفَايَةٍ فِي حَقِّ أَصْحَابِ الثَّرْوَةِ وَالْقُدْرَةِ إِذَا لَمْ تَفِ الصَّدَقَاتُ الْوَاجِبَةُ بِسَدِّ حَاجَاتِهِمْ، وَلَمْ يَكُنْ فِي بَيْتِ الْمَالِ مَا يُصْرَفُ إِلَيْهَا
“Di antaranya kewajiban yang berkaitan dengan kemaslahatan hidup dan keteraturan urusan manusia adalah menolak bahaya dari kaum Muslimin, menghilangkan kesulitan mereka, seperti menutup aurat, memberi makan orang yang lapar, dan menolong orang-orang yang meminta pertolongan dalam musibah. Semua itu menjadi fardhu kifayah bagi orang-orang yang memiliki harta dan kemampuan apabila sedekah wajib tidak mencukupi dan tidak ada dana di baitul mal.”
Baca: Mitigasi Bencana dalam Sejarah Islam
Siapa yang wajib berdonasi?
Tidak setiap orang otomatis terkena kewajiban ini. Fikih memberikan batas yang objektif. Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in menerangkan bahwa kewajiban kolektif hanya berlaku bagi pihak yang benar-benar mampu:
وَالْمُخَاطَبُ بِهِ كُلُّ مُوسِرٍ بِمَا زَادَ عَلَى كِفَايَةِ سَنَةٍ لَهُ وَلِمَمُونِهِ عِنْدَ اِحْتِلَالِ بَيْتِ الْمَالِ وَعَدَمِ وَفَاءِ زَكَاةٍ
“Yang dibebani kewajiban ini adalah setiap orang yang berkecukupan dengan harta yang melebihi kebutuhan satu tahun bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, ketika baitul mal kosong dan zakat tidak mencukupi.”
Dengan ketentuan tersebut, kewajiban donasi bersifat proporsional dan adil. Ketentuan ini tidak membebani masyarakat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Baca: Fikih Illegal Logging: Kejahatan dan Sanksi menurut Al-Syatibi
Kerangka hukum
Dalam fikih muamalah, relasi antara donatur dan lembaga penggalang dana dibangun melalui akad wakalah atau perwakilan. Donatur berposisi sebagai muwakkil, sedangkan relawan atau lembaga donasi bertindak sebagai wakil. Wakil menjalankan mandat penyaluran, bukan menjadi pemilik dana.
Akad wakalah berbeda dari washiyah atau wasiat. Wakalah berlaku selama muwakkil masih hidup, sementara wasiat baru berlaku setelah wafat. Wakalah juga berangkat dari akad tabarru’ (sukarela), sehingga hukum menjadi wakil donasi pada dasarnya sunah.
Akad tersebut dapat berubah ketika disertai imbalan. Jika upah ditetapkan sejak awal, akad berubah menjadi ijarah atau sewa jasa. Jika imbalan bergantung pada capaian tertentu, akad masuk kategori ju’alah (sayembara atau imbal hasil). Perbedaan akad ini menentukan batas kebolehan dalam pengelolaan dana donasi.
Wakalah khusus dan umum
Fikih membedakan pola mandat donasi menjadi dua. Pertama, wakalah muqayyadah atau terbatas. Contohnya donasi bertajuk “Bantuan Korban Banjir Sumatera”. Donasi jenis ini wajib disalurkan sesuai tujuan, lokasi, serta konteks yang ditetapkan. Sisa dana tidak boleh dialihkan ke wilayah lain tanpa persetujuan pemberi.
Kedua, wakalah muthlaqah atau umum. Pola ini berlaku pada lembaga yang bergerak di bidang kebencanaan secara luas. Donasi dapat dialokasikan ke berbagai wilayah terdampak. Dalam kerangka ini, lembaga diperbolehkan mengambil sebagian dana untuk operasional berdasarkan ujrah mitsil atau biaya standar yang wajar.
Baca: Hukum Pamer Sedekah di Medsos
Hibah dan amanah
Secara fikih, donasi tanpa imbalan tergolong hibah. Hibah terbagi menjadi hibah mutlaqah tanpa syarat dan hibah muqayyadah dengan syarat pemanfaatan tertentu. Pada hibah muqayyadah, penerima terikat untuk memenuhi kehendak pemberi.
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj menegaskan:
فَرْعٌ أَعْطَى آخَرَ دَرَاهِمَ لِيَشْتَرِيَ بِهَا عِمَامَةً مَثَلًا وَلَمْ تَدُلَّ قَرِينَةُ حَالِهِ عَلَى أَنَّ قَصْدَهُ مُجَرَّدُ التَّبَسُّطِ الْمُعْتَادِ لَزِمَهُ شِرَاءُ مَا ذُكِرَ وَإِنْ مَلَكَهُ؛ لِأَنَّهُ مِلْكٌ مُقَيَّدٌ يَصْرِفُهُ فِيمَا عَيَّنَهُ الْمُعْطِي
“Seseorang yang memberikan uang kepada orang lain agar dibelikan serban, dan tidak ada indikasi hanya gurauan, maka penerima wajib membelanjakannya untuk serban tersebut, meskipun ia telah memilikinya. Sebab itu adalah kepemilikan yang dibatasi oleh kehendak pemberi.”
Landasan fikih ini berfungsi menutup ruang penyalahgunaan donasi.
Fikih donasi hadir sebagai pedoman etik di tengah bencana. Ketika banjir dan longsor masih menyisakan duka di Sumatera, kepatuhan pada prinsip wakalah, hibah, dan amanah menjaga agar empati publik benar-benar sampai kepada pihak yang berhak, tanpa pelanggaran hukum dan tanpa beban moral.