Ikhbar.com: Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sejumlah sejarawan, dan aktivis menyatakan penolakan tegas terhadap wacana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bagi Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Pandangan itu disampaikan Sejarawan Bonnie Triyana, Budayawan Hairus Salim, Aktivis Gen Z NU Lily Faidatin, dan Ketua PBNU, Kiai Savic Ali dalam diskusi publik “IslamiTalk” di Ciputat, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Islami.co.
Para pembicara menyoroti warisan kekerasan sistemik, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, serta praktik korupsi selama rezim Orde Baru.
Baca: 40 Tokoh bakal Bergelar Pahlawan Nasional, Ini Daftarnya!
Mereka menilai represi terhadap kekuatan sipil, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Nasional Indonesia (PNI), menjadikan Soeharto tidak layak secara etis maupun moral untuk menerima gelar kepahlawanan.
“Soeharto menjadi presiden karena krisis politik, maka dari itu ia butuh sejarah untuk melegitimasi kekuasaannya,” ujar Bonnie, dikutip dari Islami.co, pada Sabtu, 8 November 2025.
Hairus Salim menambahkan, Selama Orde Baru, NU sulit sekali berkembang, kecuali kiai-kiai yang pindah ke Golkar.
Penolakan juga datang dari aktivis muda NU, Lily Faidatin, yang ayahnya menjadi korban represi. “Saya menolak dengan tegas Soeharto menjadi Pahlawan Nasional. Beliau mungkin pernah berjasa, tetapi dosanya lebih banyak,” katanya.
“Kalau Soeharto dipahlawankan, gak ketemu nalar kita, karena Soeharto bagian dari masalah; legacy-nya banyak yang bermasalah, korbannya banyak sekali,” ujar Kiai Savic.
Baca: Pemerintah Revisi Sejarah, Media Asing: Propaganda Jilat Orba?
Diskusi tersebut menyimpulkan bahwa pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap jutaan korban pelanggaran HAM.
Langkah ini dinilai akan mengabaikan luka sejarah represi politik dan menurunkan standar kepemimpinan masa depan yang seharusnya menjunjung tinggi demokrasi serta penghormatan terhadap HAM.