Ikhbar.com: Hamas kini dipimpin Izz Al-Din Al-Haddad, yakni komandan senior yang naik menggantikan Muhammad Sinwar setelah tewas dalam serangan Israel.
Hal itu diungkap sejumlah pejabat intelijen Timur Tengah dan pertahanan Israel, dan dikonfirmasi juru bicara militer Israel, Brigjen Effie Defrin.
Al-Haddad, yang dikenal sebagai Abu Suheib, diperkirakan berusia pertengahan 50-an dan berasal dari Kota Gaza. Ia turut merancang serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Ia menolak keras setiap kesepakatan pembebasan sandera tanpa penghentian total perang dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Baca: Israel Diduga Dalangi Geng Lokal yang Kacaukan Distribusi Bantuan di Gaza
“Kepemimpinan penjajah yang didukung Amerika dan Barat harus tunduk pada tuntutan kami,” ujar Al-Haddad, dikutip dari The New York Times, pada Jumat, 4 Juli 2025.
Tuntutan tersebut mencakup penghentian perang, penarikan Israel, pembebasan tahanan Palestina, rekonstruksi Gaza, dan pencabutan blokade,
Al-Haddad menolak negosiasi tidak langsung antara Hamas dan Israel.
Meskipun Amerika Serikat (AS) mengusulkan jeda 60 hari dalam pertempuran untuk memulai pembicaraan damai, tetapi Hamas masih menimbang tawaran itu.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersikeras Hamas harus dilumpuhkan terlebih dahulu sebelum gencatan senjata permanen disepakati.
Sementara itu, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 50.000 orang telah tewas dalam konflik, dan sebagian besar wilayah berubah menjadi puing.
Baca: Innalillahi! Direktur RS Indonesia di Gaza Syahid dalam Serangan Israel
Al-Haddad merupakan satu dari sedikit pemimpin militer Hamas yang masih hidup setelah kematian Muhammad Deif dan Marwan Issa.
Ia juga dilaporkan pernah berinteraksi dengan para sandera di Gaza utara, dan memiliki hubungan erat dengan tokoh penting lain seperti Raed Saad.
Putra sulung al-Haddad, Suheib, termasuk di antara korban tewas dalam perang ini. Pada April lalu, badan intelijen Israel, Shin Bet, mengumumkan telah membunuh tangan kanan al-Haddad, Mahmoud Abu Hiseira.
Al-Haddad disebut terinspirasi oleh perlawanan Chechnya terhadap Rusia pada 1990-an dan menyatakan perang ini akan menjadi “perang pembebasan atau perang kesyahidan” jika tidak tercapai kesepakatan terhormat dengan Israel.