PBB vs Amerika, Perang Angka Korban Gaza

Para pelayat menghadiri pemakaman juru kamera Al Jazeera Samer Abu Daqqa yang terbunuh oleh serangan Israel ketika sedang melaporkan pengeboman terhadap sebuah sekolah yang menampung pengungsi, di Khan Younis di selatan Gaza, pada 16 Desember 2023. REUTERS/Bassam Masoud

Ikhbar.com: Para petugas kamar mayat Rumah Sakit (RS) Nasser di Gaza bagian selatan tak henti-henti menangani korban serangan udara Israel. Mereka mencatat informasi dasar tentang korban, seperti nama, nomor identitas, usia, dan jenis kelamin.

Sejumlah jenazah ditemukan hancur. Hanya yang telah diidentifikasi atau diklaim keluarga yang dapat dimakamkan, lalu dihitung sebagai korban resmi perang oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Gaza. Sementara sisanya disimpan dalam peti es kamar mayat hingga berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.

Jumlah total korban tewas warga Palestina di Gaza kini sudah mencapai 20.057 orang. Hitungan itu di luar perkiraan adanya ribuan orang yang masih tertimbun di bawah reruntuhan. Sekitar 70% dari mereka yang tewas adalah perempuan dan anak-anak.

Seorang pria Palestina membawa jenazah anak-anak yang tewas dalam serangan Israel, di kamp pengungsi Jabalia, di Jalur Gaza utara, 9 Oktober 2023. REUTERS/Mahmoud Issa

Baca: Israel Bunuh 100 Warga Palestina per Hari

Tantangan dan tekanan psikologis

Kemunculan angka tersebut sudah barang tentu menyedot perhatian dunia karena tingginya jumlah warga sipil yang tewas dalam serangan militer Israel sejak 7 Oktober 2023. Serangan ini dianggap sebagai yang paling mematikan dalam sejarah 75 tahun Israel.

Salah seorang petugas RS. Nasser, Hamad Hassan Al-Najjar mengatakan, akibat sebagian besar rumah sakit ditutup, ratusan dokter dan petugas kesehatan tewas, serta komunikasi terhambat karena kekurangan bahan bakar dan listrik, maka pengumpulan data korban jiwa semakin sulit dilakukan.

“Meskipun pekerja, termasuk sukarelawan, menghadapi keterbatasan makanan dan air untuk keluarga mereka, mereka tetap berkomitmen karena menganggap pencatatan jumlah warga Palestina yang meninggal sebagai tugas yang sangat penting,” ungkap Al-Najjar, dikutip dari Reuters, Minggu, 24 Desember 2023.

Pria berusia 42 tahun itu mengaku mengalami tekanan psikologis cukup besar dalam melaksanakan pekerjaan itu. Dia menceritakan sering merasa terkejut saat menemukan jenazah seseorang yang dikenal, teman, apalagi kerabat.

Salah satunya, Al-Najjar merasa dibuat kager dan sedih saat mendapati jenazah direktur kamar mayat, Saeed Al-Shorbaji, dan beberapa anggota keluarganya. Mereka tiba pada awal Desember, setelah tewas dalam serangan udara Israel.

“Dia adalah salah satu pilar kamar mayat ini,” kata Al-Najjar.

Saeed Al-Shorbaji, pengawas kamar mayat RS. Nasser, sedang bekerja di kamar mayat di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Palestina Hamas, di Khan Younis di Jalur Gaza selatan, 7 November 2023. Dok REUTERS

Tugas yang paling menyakitkan bagi dirinya ialah ketika menangani jenazah anak-anak, yang beberapa di antaranya kehilangan anggota badan.

“Dibutuhkan waktu berjam-jam untuk memulihkan keseimbangan psikologis untuk pulih dari dampak guncangan ini,” pungkas dia.

Baca: Bela Palestina, Muslim Amerika Ancam tak Pilih Biden pada Pemilu 2024

Diragukan Amerika, disahkan PBB

Data yang dicatat Al Najjar dan rekan-rekannya itu kemudian dikumpulkan para pekerja di pusat informasi yang didirikan Kemenkes di RS. Nasser. Mereka juga mencatat seluruh informasi dari unit gawat darurat yang masih berfungsi di seluruh Gaza.

Juru bicara Kemenkes Gaza, Ashraf Al-Qidra mengatakan, tim yang bekerja dalam pengumpulan angka itu menggunakan sistem data terkomputerisasi yang dibuat berdasarkan konsultasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pekerja rumah sakit diwajibkan untuk mengisi informasi sebelum melaporkan nama korban baru.

“Angka-angka yang digunakan Kemenkes mencerminkan data yang terverifikasi,” kata dokter yang berusia 50 tahun itu.

Al-Qidra menyebutkan bahwa banyak jenazah yang tidak tercatat akibat kurangnya informasi atau karena tidak sempat diperiksakan ke rumah sakit sebelum dimakamkan. Di RS. Al-Shifa, misalnya, saat ini sudah tidak ada staf yang bertugas sehingga laporan angka kematian di lokasi tersebut terhenti.

“Jadi, jumlah sebenarnya, korban jauh lebih besar dari ini,” katanya.

Sejak awal Desember, kementerian juga mengatakan sudah tidak dapat mengumpulkan laporan rutin dari kamar mayat di RS Gaza utara akibat runtuhnya layanan komunikasi dan infrastruktur usai dibom Israel.

Menurut WHO, hanya enam dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih menerima dan melaporkan korban jiwa dan semuanya berada di wilayah selatan.

Hal itu, lantas menjadikan Badan kesehatan PBB itu juga menganggap angka yang dipublikasikan masih terlalu rendah. Namun, WHO mengatakan saat ini masih belum memungkinkan untuk melakukan pencarian demi mendapatkan angka yang lebih akurat.

Berbeda dengan WHO, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dengan congkak meragukan setiap data yang dikeluarkan pihak Kemenkes Gaza maupun Palestina. Dalihnya, angka-angka yang dikeluarkan itu tidak menyebutkan penyebab kematian, ditambah tidak adanya pembeda antara mayat warga sipil biasa dan milisi Hamas.

Namun, PBB yang telah lama menjalin kerja sama dengan otoritas kesehatan Palestina terus menjamin kebenaran dan kualitas data tersebut. WHO mencatat, dibandingkan dengan konflik-konflik sebelumnya, angka-angka tersebut menunjukkan lebih banyak warga sipil yang terbunuh, terutama perempuan dan anak-anak.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.