Ikhbar.com: Bumi Serambi Makkah, Aceh, porak-poranda. Lebih dari 230.000 jiwa dilaporkan tewas. Mereka adalah korban gempa berkekuatan 9.1–9.3 skala richter yang disambung dengan kemunculan gelombang tsunami setinggi 30 meter, pada 26 Desember 2004 silam.
Namun, siapa sangka. Di balik bencana tsunami terdahsyat di Indonesia itu, ada puluhan ribu nyawa yang selamat hanya karena sebait-dua tembang lawas. Mereka yang tinggal di Pulau Simeulue, Aceh, itu tergerak menaiki bukit lantaran sudah diperingatkan sebuah lagu yang telah diwaris-hafalkan dari generasi ke generasi.
“Nyanyian itu bernama Smong. Liriknya berisi tentang peringatan terkait kondisi perairan atau lautan. Bait per baitnya secara eksplisit menyebut, ‘ketika kondisi air laut menyusut, hendaknya pergi ke atas bukit,” ungkap Penulis Mantra Penolak Bencana (2023), Agung Firmansyah, dalam program Hiwar Ikhbar #10 bertema “Mitos-mitos Kebencanaan” bersama Ikhbar.com, Sabtu, 15 Juli 2023, kemarin.
Melestarikan pesan
Kemunculan Smong berawal dari pengalaman pahit pada 1907 lampau. Kala itu, ombak besar juga menghantam pesisir Pulau Simeulue, terutama di Kecamatan Teupah Barat.
Mengutip laman acehprov.go.id, tsunami dengan magnitude 7,6 tersebut menjadi mimpi buruk sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat setempat. Ribuan nyawa melayang, rumah dan surau hancur, serta harta benda pun lenyap. Jejak bencana hebat itu masih terlihat pada sebuah kuburan yang terletak di pelataran masjid Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat.
Sejak itu, kata Smong begitu akrab di kalangan masyarakat Simeulue. Smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut yang berasal dari Bahasa Devayan, bahasa asli Simeulue. Berikut adalah bait lengkap tembang tersebut:
Enggel mon sao surito…
Inang maso semonan…
Manoknop sao fano…
Uwi lah da sesewan…
Dengarlah sebuah cerita
Pada zaman dahulu
Tenggelam satu desa
Begitulah mereka ceritakan
Unen ne alek linon…
Fesang bakat ne mali…
Manoknop sao hampong…
Tibo-tibo mawi…
Diawali oleh gempa
Disusul ombak yang besar sekali
Tenggelam seluruh negeri
Tiba-tiba saja
Menurut Agung, Smong merupakan salah satu bentuk kearifan lokal dari rangkaian pengalaman bencana pada masa lalu. “Ketika pesan itu lestari, maka hasilnya akan sangat baik sebagai sebuah sistem penanggulangan bencana,” katanya.
Baca: Teladan Kaum Adat Lestarikan Lingkungan
Internalisasi masyarakat modern
Direktur Utama (Dirut) Ikhbar.com itu juga menjelaskan, salah satu bentuk kearifan lokal lainnya yang membawa manfaat bagi kelestarian lingkungan dan mitigasi bencana adalah hukum adat. Menurutnya, hukum adat berperan besar dalam konservasi alam.
“Tidak hanya di Indonesia, bahkan di Brasil. Deforestasi atau penggundulan hutan di kawasan Amazon pada 2020 turun sebesar 66% dari tahun sebelumnya. Angka itu muncul setelah pemerintah memberikan pengakuan kepemilikan wilayah hutan adat secara penuh kepada masyarakat,” jelas dia.
Menurut dia, hukum yang diberlakukan oleh warga adat itu perlu diinternalisasi oleh masyarakat modern. “Tidak hanya secara tekstual, tapi memahami betul akan kearifan lokal itu. Jika sudah seperti itu, maka kearifan lokal bisa menjadi modal penting agar masyarakat bisa melakukan konservasi alam dan mitigasi bencana,” katanya.

Atas dasar itulah, lanjut Agung, dia bersama kawannya, Doamad Tastier menuliskan buku berisi belasan cerita dan mitos masyarakat masa lampau tersebut.
“Kami sengaja menulis buku tersebut dalam format cerita agar lebih mudah dipahami oleh generasi z,” katanya.
Buku Mantra Penolak Bencana (2023) ini bisa dibeli lewat direct message (pesan langsung) akun Instagram @Ikhbarcom, atau melalui pesan WhatsApp di +62 822-1037-2148.