Kontroversi Bendera One Piece: Tasyakkur Kemerdekaan Vs Simbol Fiktif

Aksi tersebut dapat dimaknai dari berbagai perspektif, mulai dari budaya populer, politik, agama, hingga teori konspirasi.
Seorang pemuda Muslim sedang memegang tiang bendera bajak laut dalam anime One Piece. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Fenomena pengibaran bendera yang menyerupai simbol bajak laut dari anime One Piece menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Republik Indonesia (RI) menuai beragam tanggapan. Salah satunya datang dari Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat, Dr. KH Mohamad Yahya.

Menurutnya, aksi tersebut dapat dimaknai dari berbagai perspektif, mulai dari budaya populer, politik, agama, hingga teori konspirasi. Namun, yang justru menarik perhatian adalah respons pemerintah.

“Munculnya aksi pengibaran bendera One Piece dapat dimaknai secara beragam tergantung perspektif yang digunakan. Analisis atas fenomena tersebut telah banyak dikemukakan, mulai dari perspektif pop culture, politik kekuasaan, agama, hingga teori konspirasi,” ujar Kiai Yahya saat dihubungi Ikhbar.com, pada Sabtu, 16 Agustus 2025.

Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat, Dr. KH Mohamad Yahya. Dok IST

“Bagi saya, hal yang aneh justru terletak pada reaksi elite penguasa yang begitu serius menanggapinya. Drama yang dipertontonkan seolah tidak ada masalah, tetapi perangkat kekuasaan di akar rumput bergerak sangat sigap,” tambahnya.

Ia menilai, kemungkinan besar elite melihat fenomena ini sebagai bentuk mobilisasi tertentu, tetapi tetap ingin terlihat tenang demi menjaga stabilitas.

“Apakah elite telah mengendus adanya mobilisasi terstruktur di dalamnya, tetapi di sisi lain tetap ingin tampak baik-baik saja? Mengingat pentingnya stabilitas politik untuk menjaga target pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Karena itu, menurutnya, ada kemungkinan instruksi tetap diberikan secara diam-diam kepada perangkat kekuasaan di akar rumput. Dalam kasus ini, elite mestinya belajar dari Presiden Ke-4 RI, KH Abdurrahman ‘Gus Dur‘ Wahid saat merespons aksi pengibaran bendera bintang kejora di Papua.

Baca: Bendera One Piece di Bawah Merah Putih: Telaah Fikih Kebangsaan di Era Kritik Simbolik

Simbol tanah air bagian dari keimanan

Lebih jauh, sosok yang juga menjabat Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Kota Cirebon itu mengingatkan pentingnya menjaga simbol negara. Ia menegaskan bahwa konsep tanah air dan NKRI adalah simbol yang wajib dihormati.

“Ada seorang filsuf Jerman-Amerika bernama Ernst Cassirer yang mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum. Teori ini menyebutkan bahwa realitas manusia terbentuk dari sistem simbol,” ujarnya.

“Konsep tanah air, kedaulatan, kebangsaan, dan kenegaraan adalah sistem simbol yang membentuk identitas manusia Indonesia. Artinya, kapan pun simbol-simbol yang mencerminkan NKRI tetap menjadi tanggung jawab kita bersama untuk dijaga dan dihormati,” imbuhnya.

Ia menekankan bahwa tafsir teknis penjagaan bisa berubah sesuai zaman, tetapi komitmen terhadap NKRI tidak boleh goyah.

Menurut Kiai Yahya, rasa syukur atas kemerdekaan tidak bisa dimanifestasikan dengan mengganti bendera Merah Putih. Hal ini sejalan dengan QS. Ibrahim: 7.

“Jika QS. Ibrahim ayat 7 dikaitkan dengan hari kemerdekaan, maka rasa syukur yang diwujudkan dalam bentuk penggantian bendera Merah Putih dengan bendera lain dan menganggapnya setara tidak dapat dibenarkan. Itu berarti kufur terhadap nikmat Allah berupa anugerah NKRI dengan segala atributnya,” katanya.

Namun, ia menambahkan, dalam kasus pengibaran bendera One Piece, masyarakat tetap menempatkan Merah Putih di atasnya. Kalaupun ada ekspresi lain, keyakinan terhadap kedudukan Merah Putih harus tetap kokoh.

Baca: Membaca Fenomena Bendera One Piece di HUT Ke-80 RI: Antara Kritik Sosial dan Cinta Tanah Air Perspektif Islam

Nasionalisme generasi muda

Kiai Yahya menilai nasionalisme anak muda saat ini tidak bisa sekadar dilihat dengan mata telanjang karena menyangkut ranah perasaan. Meski demikian, ia menyinggung data survei yang menyebutkan adanya kecenderungan penurunan nasionalisme generasi muda.

“Pertanyaan ini tidak dapat saya jawab karena saya tidak memiliki data itu, juga karena menyangkut aspek perasaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, rasa nasionalisme di kalangan anak muda, menurut hasil survei seperti Populix (2023) misalnya, mengalami penurunan,” ujarnya.

Kendati demikian, ia menegaskan masih banyak bukti bahwa Merah Putih tetap dihormati generasi muda.

“Sependek yang saya lihat dalam aktivitas sehari-hari, saya tidak pernah mendapati seorang remaja menempatkan bendera Merah Putih di posisi yang tidak semestinya. Sebaliknya, saya masih sering melihat remaja mengibarkan Merah Putih, baik dalam permainan informal maupun kegiatan formal,” katanya.

Buktinya, menurut dia, anak muda masih sangat antusias memperingati hari kemerdekaan dengan beragam ekspresi.

“Artinya, saya masih yakin bahwa dalam lubuk hati para remaja, Merah Putih bukan sekadar kain, melainkan simbol penuh makna bagi bangsa ini,” ucapnya.

Baca: Fikih Kemerdekaan: Memaknai Kebebasan Hakiki dalam Islam

Pelajaran dari Rasulullah dan Al-Qur’an

Lebih lanjut, Kiai Yahya juga mengaitkan fenomena ini dengan sejumlah ayat Al-Qur’an. Ia menyinggung QS. Al-Qashash: 85 tentang kerinduan Nabi Muhammad kepada Kota Makkah, yang bisa diteladani dalam konteks cinta tanah air.

“Dari sini kita mendapatkan pelajaran penting bahwa betapapun sukses di tanah rantau, kita tidak boleh melupakan tanah air. Tidak lengkap rasanya jika kesuksesan itu tidak dilengkapi dengan cinta dan kepedulian terhadap tanah air,” tuturnya.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa sejatinya rasa cinta tanah air seperti keimanan: bisa yazid (bertambah) dan yanqush (berkurang). Karena itu, keduanya harus senantiasa dijaga dan ditumbuhkan agar tidak terdistraksi atau tereduksi oleh gangguan apa pun.

Sementara terkait QS. Al-Ahzab: 72, ia menekankan pentingnya menjaga amanah Merah Putih.

“Belajar dari ayat tersebut, para pendiri bangsa telah memberikan amanah kepada kita untuk senantiasa menjaga dan melestarikan NKRI. Ini tanggung jawab besar yang harus dijaga bersama,” ujarnya.

Ia menegaskan, mengganti Merah Putih dengan simbol lain merupakan tindakan terlarang yang mencederai amanah para pendiri bangsa.

“Pertanyaannya, pengibaran simbol non-Merah Putih itu apakah benar-benar mengganti Merah Putih, atau sekadar ekspresi perlawanan terhadap kekuasaan yang dianggap zalim? Konteksnya tentu berbeda,” ujarnya.

Baca: Agustus Tiba, Ini Hukum Pasang Bendera Merah Putih dan Dalil Cinta Negeri

Ekspresi kebebasan atau kritik politik?

Terkait alasan di balik pengibaran bendera fiktif, Kiai Yahya menilai hal itu bisa ditelaah melalui teori hegemoni Antonio Gramsci.

“Menafsirkan fenomena penggantian simbol perjuangan dengan simbol hiburan sangat bergantung pada teori yang kita gunakan. Jika memakai teori hegemoni Antonio Gramsci, misalnya, aksi tersebut dapat dilihat sebagai ekspresi kebebasan yang digerakkan melalui produksi makna dalam bentuk simbol,” jelasnya.

“Menurut saya, target yang dijadikan lawan adalah kekuasaan, yakni pemerintah, bukan negara,” imbuhnya.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa masih banyak momen kebangsaan yang mampu membangkitkan nasionalisme, misalnya saat Timnas Indonesia bertanding.

Pada akhirnya, Kiai Yahya menekankan pentingnya merespons fenomena ini dengan pendekatan hikmah sebagaimana diajarkan dalam QS. An-Nahl: 125.

“Jika tindakan tersebut terbukti sah sebagai bentuk penggantian Merah Putih, tentu harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. Tetapi jika itu hanya ekspresi simbolik atas kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, maka hikmah adalah langkah paling tepat,” katanya.

Menurutnya, hikmah dalam QS. An-Nahl: 125 bukan sekadar kata-kata bijak atau pidato berapi-api tanpa bukti, melainkan kemaslahatan. Kebijakan yang sarat kepentingan rakyat adalah bentuk pendidikan terbaik.

“Apa yang disampaikan Mbak Alissa Qatrunnada Wahid terkait pajak akhir-akhir ini adalah contoh baik. Jika kinerja pemerintah menghasilkan kebijakan yang menyejahterakan rakyat, dengan sendirinya rakyat akan rela membayar pajak,” ungkapnya.

Namun, lanjut dia, yang terlihat hari ini justru sebaliknya: rakyat dituntut membayar pajak semakin tinggi, sementara uang pajak dikorupsi sedemikian rupa. Hal ini tentu sangat menyayat hati rakyat. Sebagai ekspresi sakit hati, wajar bila muncul simbol-simbol perlawanan.

“Singkatnya, respons terbaik terhadap perlawanan adalah kebijakan yang membawa kemaslahatan, bukan kepongahan terhadap demonstran,” tandasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.