Ikhbar.com: Hari raya Iduladha identik dengan penyembelihan hewan kurban. Salah satu pesan dari ibadah ini berkenaan dengan sisi ritual-spiritual, yaitu sebuah dimensi yang sangat berkait-paut dengan nilai-nilai sufistik atau tasawuf.
Anjuran untuk melaksanakan ibadah kurban tertuang dalam sejumlah firman Allah Swt. Salah satunya, QS. Al-Hajj: 34.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
“Dan bagi setiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan kurban agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).”
Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan, perintah berkurban sudah ada dalam ajaran-ajaran sebelum Nabi Muhammad Saw. Meski dengan teknis yang cenderung berbeda, tetapi tetap dengan tujuan yang sama, yaknk sebagai media mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Baca: Mendaras Fikih Kurban
Sementara, ayat-ayat yang menyebutkan bahwa ibadah kurban mengandung nilai-nilai sufistik terdapat dalam QS. Al-Hajj: 36. Allah Swt berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur.”
Imam Ibnu Ajibah dalam Al-Bahru al-Madid menegaskan bahwa ayat tersebut mengandung nilai-nilai tasawuf yang ada pada ibadah kurban. Ibnu Ajibah mengutip Imam Al-Wartajibi yang menjelaskan bahwa ibadah kurban memiliki makna memusnahkan hawa nafsu melalui mujahadah.
Ia menjelaskan bahwa cara meminimalisir datangnya hawa nafsu bisa melalui riyadah atau melatih roh agar jiwa menjadi bersih. Cara tersebut dapat dilakukan dengan berpuasa, berzikir, membaca Al-Qur’an, dan amalan-amalan lainnya.
Dalam keterangannya itu, Imam Ibnu Ajibah menjelaskan, matinya hewan kurban memiliki makna bahwa segala yang wujud pasti akan musnah. Sementara yang kekal hanyalah Allah Swt. Bahkan, ia dengan berani menyebutkan, seorang yang makrifat kepada Allah pun tidak kekal kehidupannya dan segala sesuatu dalam alam semesta adalah milik Allah semata.