Ikhbar.com: Jauh sebelum militer Israel membabi-buta memuntahkan kekejamannya hingga menewaskan lebih dari 18 ribu jiwa warga di Jalur Gaza, rakyat Palestina sudah cukup akrab dengan penindasan dan diskriminasi dari pemerintah zionis.
Namun, setidaknya, sebelum dalih balasan 7 Oktober itu muncul, masyarakat masih bisa sedikit banyak menunaikan aktivitasnya. Termasuk, kegiatan menjalankan tradisi-tradisi keagamaan Islam.
Baca: Gaza dalam Sebait Puisi Imam Syafi’i
Tarekat Gaza
Di suatu malam di setiap pekannya, setidaknya hingga 2016 silam, seorang bernama Nabhan Al-Babili mengumpulkan pengikutnya yang berada di Kamp Pengungsi Nuseirat, di Jalur Gaza. Pria berusia 62 tahun itu merupakan Ketua Tarekat Sufi Al-Rifaiyah. Sebelumnya, tampuk kepemimpinan ia terima secara turun-menurun dari kakek dan ayahnya.
Pertemuan itu merupakan agenda mingguan untuk membacakan tawasul dan wirid yang sudah mereka amalkan selama puluhan tahun lalu. Area berkumpul itu biasanya disulap menjadi ruang yang dihiasi warna-warna dominan hijau lengkap dengan pajangan kaligrafi yang mereka punya. Setelah berzikir secara khusyuk, tak jarang mereka bernyanyi dan membacakan puisi-puisi berisikan pujian kepada Nabi Saw.
Salah satu jemaah, Abu Omar (60) mengambil mikrofon dan membacakan puisi-puisi sufi dengan suara sedikit gemetar.
“Wahai penunggang unta putih, mampirlah ke rumah kami agar kami dapat mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Wahai pengendara, kematian adalah saat kamu melakukan perjalanan,” seru Omar, dikutip dari The Electronic Intifada, Senin, 11 Desember 2023.
Omar juga dengan senang hati menyanyikan sebuah lagu karya Yassin Al-Tohami, seorang penyanyi sufi Mesir yang cukup populer.
“Cinta itu dari-Mu dan untuk-Mu. Anda membuat hati saya gemetar karena mencintai. Aku menyukai semua yang Engkau ciptakan. Jadi dengan alasan apa aku bisa tidak mencintai-Mu?” dendang Omar dengan syair-syair yang mengarah ke keberadaan Allah Swt dan segala ciptaan-Nya.
Bagi para jemaah, malam-malam seperti itu adalah malam istimewa. Mereka menyebutnya sebagai malam penyembuh jiwa. Mereka berkumpul hangat dan mencoba melupakan sejenak penderitaan yang dialami dengan memanjatkan pujian-pujian kepada Allah Swt dan Sang Nabi.
Seperti sebagian besar dari sekitar 1,9 juta warga Palestina di Gaza, keluarga Al-Babili adalah pengungsi. Merela mengungsi sejak 1948 bersama ratusan ribu warga lainnya yang melarikan diri setelah diusir milisi zionis.
Menguatkan persaudaraan
Abdullah Al-Babili mewariskan tradisi sufi mereka kepada putranya. Menurut Al-Babili, hal itu dilakukan agar tradisi mereka tetap terlestari.
Al-Rifaiyah adalah tarekat Sufi di Palestina yang terinspirasi dari Syekh Abdul Qadir Al-Rifai Al-Jilani yang lahir di Persia pada abad ke-12. Menurut Al-Babili, Syekh Al-Jilani menghabiskan 25 tahun mengembara di daerah gurun Irak sebelum diyakini akhirnya datang ke Palestina.
Al-Rifaiyah hanyalah satu dari sejumlah tarekat yang eksis di Palestina. Al-Babili menyebutkan, selain aliran yang dipimpinnya, ada pula tarekat Al-Qadiriyah, Al-Ahmadiy, Al-Dusuqiyah, Al-Shaziliyah, dan Al-Darqawiyah.
“Mereka sudah ada dan aktif di Palestina sejak ratusan tahun lalu,” kata Al-Babili.
Semua pengikut tarekat memiliki keterikatan persaudaraan yang kuat. Bahkan dengan komunitas Muslim secara keumuman. Tidak hanya di Gaza, tapi juga di Tepi Barat hingga di wilayah-wilayah yang telah diklaim Israel saat ini.
Sayangnya, keagresifan Israel untuk menindas Palestina membuat komunitas-komunitas sufi terancam bubar. Termasuk tarekat Al-Rifaiyah yang kini ia pimpin.
Padahal, ujar Al-Babili, tarekat sufi umumnya tidak memiliki agenda politik, tidak seperti apa yang telah fitnahkan Israel kepada mereka.
“Kami hanya fokus merayakan acara keagamaan,” ujar Al-Babili.
Baca: Al-Mawasi, Kurang dari Separuh Luas Bandara Soetta untuk Tampung 1,8 Juta Pengungsi Gaza
Moderat dan terbuka
Mantan editor surat kabar Falasteen, Mustafa Al-Sawaf mengatakan, ketidak-terlibatan mereka dalam politik itu dibuktikan dengan kemampuannya dalam menjalin hubungan baik dengan setiap mazhab yang ada di Palestina.
“Sifat tasawuf memungkinkan mereka menjaga hubungan baik dengan kelompok Islam lainnya,” katanya.
“Mereka terbuka terhadap kelompok lain, dan menyambut semua orang. Mereka fokus melakukan ritual mereka sendiri,” sambung Al-Sawaf.
Hal itu, lanjut Al-Sawaf, sangat berbeda dengan pandangan keras kelompok Salafi, di antaranya ISIS, yang menuduh kaum sufi di Suriah dan Irak sebagai golongan murtad yang berujung pada pengerusakan tempat ritual ibadah mereka.
“Namun, di Gaza, perbedaan ini tidak terlihat karena tasawuf menghindari konflik dengan kelompok lain. Mereka tidak punya masalah dengan orang lain dan menyambut semuanya.”
Sementara itu, Profesor Ilmu Politik di Universitas Ummah di Gaza, Adnan Abu Amer, pengikut tarekat di Gaza memiliki kekhasan sendiri.
“Dibandingkan dengan negara lain, mereka tidak dengan jumlah pengikut yang cukup banyak dan tidak aktif secara politik,” katanya.
Di Jalur Gaza, masjid sering kali dikuasai kelompok Islam tertentu, seperti Hamas atau Jihad Islam. Namum, hal itu tidak terjadi pada sekolah-sekolah sufi dan tempat ibadah mereka yang mempersilakan bagi siapa pun warga Palestina yang ingin singgah dan berkunjung.
Warga setempat, Musa Shukur (30) menyebut pertemuan sufi adalah perjumpaan orang-orang spiritual yang berhati baik dan menyembuhkan jiwa.
Shukur amat tertarik dan serius mendengarkan dendang Abu Omar. Bait-baitnya ia nilai sangat menggetarkan.
“Apakah keselamatan itu, jika tubuhku terikat pada jiwa-Ku?”
Menurut Shukur, nyanyian Abu Omar itu semacam pertanyaan yang sangat mendesak bagi mereka yang selalu menghadapi kegentingan di Gaza karena kekejaman Israel.