Ikhbar.com: Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia kembali disuguhi pemberitaan aksi demonstrasi di berbagai daerah. Namun, alih-alih menjadi sarana penyampaian aspirasi yang sehat, sebagian aksi justru berujung anarkis: kericuhan, penjarahan, hingga perusakan fasilitas umum. Fenomena ini membuat tujuan awal perjuangan kerap tertutupi oleh tindakan yang merugikan banyak pihak.
Dalam konteks inilah seorang Muslim seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan utama ketika menyuarakan pendapat. Kitab suci itu menekankan pentingnya etika dan kebijaksanaan dalam setiap langkah, bukan hanya mengikuti aturan formal.
Baca: Fikih Demonstrasi: Antara Kebebasan Bersuara dan Akhlak Massa
Prinsip demokrasi
Syura atau musyawarah merupakan prinsip demokrasi Qur’ani yang menekankan partisipasi dan keterlibatan bersama dalam mengambil keputusan. Nilai ini mengajarkan bahwa kebijakan yang lahir dari dialog dan kesepakatan akan lebih adil, bijak, serta mencerminkan kepentingan umat secara menyeluruh. Prinsip ini sejalan dengan QS. As-Syura: 38. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ
“(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Dalam Tafsir Munir, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menegaskan bahwa syura atau musyawarah merupakan prinsip fundamental dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam. Ayat “wa amruhum syura bainahum” bukan hanya menyebutkan ciri orang beriman, melainkan menghadirkan syura sebagai etos yang melekat dalam tata kelola masyarakat.
Bagi Syekh Wahbah, musyawarah bukan sebatas prosedur formal, tetapi mekanisme untuk menjaga kemaslahatan dan mencegah kepemimpinan otoriter. Keputusan yang diambil bersama lebih adil, lebih bijak, dan memiliki legitimasi kuat dibandingkan keputusan sepihak. Karena itu, syura menjadi kunci menjaga keseimbangan antara kepemimpinan dan aspirasi rakyat.
Lebih jauh, Syekh Wahbah melihat nilai syura sejalan dengan semangat demokrasi modern. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan adalah wujud ajaran Qur’ani selama tetap berada dalam bingkai syariat yang menjunjung keadilan, kemaslahatan, dan nilai-nilai moral Islam.
Baca: Hukum Menjarah Rumah Pejabat menurut MUI
Sarana amar ma’ruf nahi munkar
Di sisi lain, demonstrasi dapat dipandang sebagai sarana amar ma’ruf nahi munkar yang terorganisasi. Dalam praktiknya, ia menjadi wadah masyarakat untuk menyeru pada kebaikan sekaligus menolak kemungkaran.
Hal ini sejalan dengan QS. Ali Imran: 104 yang menekankan pentingnya peran kolektif dalam menjaga keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat. Allah Swt berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Dalam Tafsir Al-Manar, Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Rasyid Ridha menafsirkan QS. Ali Imran: 104 sebagai dasar pentingnya membentuk kelompok atau organisasi dengan visi memperbaiki masyarakat melalui amar ma’ruf nahi munkar.
Mereka menekankan bahwa tugas menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran tidak cukup dijalankan secara individual, tetapi harus terorganisasi agar memiliki kekuatan nyata dalam kehidupan sosial-politik.
Menurut mereka, ayat ini mengandung pesan reformasi yang relevan dengan kebutuhan umat. Amar ma’ruf nahi munkar dipahami bukan sekadar mengingatkan kesalahan pribadi, melainkan juga mengawasi kebijakan publik, memperbaiki tatanan sosial, serta melawan praktik kezaliman dan korupsi.
Karena itu, amar ma’ruf nahi munkar menjadi prinsip dasar pembangunan masyarakat modern yang adil dan beradab.
Baca: Bendera One Piece di Bawah Merah Putih: Telaah Fikih Kebangsaan di Era Kritik Simbolik
Etika menyampaikan aspirasi
Dalam Al-Qur’an, penyampaian aspirasi bukan hanya soal kebebasan berbicara, tetapi juga cara melakukannya. Kritik, masukan, maupun tuntutan masyarakat diarahkan agar tetap berlandaskan akhlak mulia, menghindari kekerasan, dan menjunjung martabat.
Etika ini penting karena tanpa etika, suara kebenaran bisa kehilangan makna dan bahkan menimbulkan kerusakan.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup juga telah mengatur etika penyampaian aspirasi. Berikut rinciannya:
1. Dengan cara hikmah
Aspirasi sebaiknya disampaikan dengan bijak, bukan teriakan tanpa arah. Suara yang dilandasi argumen jernih, disertai etika dan sikap santun, akan lebih mudah didengar dan dihargai. Dengan begitu, yang tersampaikan bukan hanya keluhan, melainkan pesan bernilai yang mengetuk nurani dan membuka jalan perubahan nyata.
Prinsip ini sesuai dengan QS. An-Nahl: 125. Allah Swt berfirman:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an menekankan bahwa dakwah, termasuk penyampaian aspirasi, harus berjalan dengan tiga pilar: hikmah, nasihat yang menyentuh hati, dan dialog yang santun.
Menurutnya, hikmah adalah kemampuan membaca situasi dan memilih cara yang tepat. Nasihat yang baik lahir dari hati dan menyentuh hati, bukan sekadar kata-kata kosong. Sementara perdebatan terbaik adalah diskusi yang mencerahkan, bukan menjatuhkan.
Bagi Sayyid Qutb, Islam hadir bukan dengan paksaan, melainkan cahaya yang ditawarkan melalui komunikasi lembut, bijak, dan mengundang kebaikan.
2. Dilarang memprovokasi
Dalam menyampaikan aspirasi, larangan merendahkan, menghina, atau memprovokasi harus dijunjung tinggi. Aksi yang bertujuan mencari keadilan kehilangan makna bila dibungkus caci maki dan hinaan.
Sebaliknya, aspirasi yang disampaikan dengan santun dan bermartabat lebih berpeluang membuka ruang dialog sehat serta menghasilkan perubahan nyata tanpa perpecahan.
Prinsip ini sesuai dengan QS. Al-Hujurat: 11. Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”
3. Dilarang merusak
Larangan merusak saat demonstrasi merupakan prinsip penting yang tidak boleh diabaikan. Aksi turun ke jalan sejatinya adalah ruang menyampaikan aspirasi, bukan ajang anarkisme.
Ketika fasilitas umum dirusak atau ketertiban diganggu, pesan yang diperjuangkan justru tertutup kericuhan. Karena itu, menjaga ketertiban dan menghindari tindakan destruktif adalah wujud kedewasaan dalam berdemokrasi.
Ajaran ini sesuai dengan QS. Al-A’raf: 56. Allah Swt berfirman:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Prof. Dr. KH. Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menegaskan, larangan berbuat kerusakan di bumi bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga mencakup perilaku sosial seperti perpecahan, kezhaliman, dan anarkisme.
Menurutnya, ayat ini mengingatkan bahwa doa harus sejalan dengan tindakan. Mustahil seseorang berharap kebaikan jika justru merusak tatanan yang sudah baik.
Baca: Cara Mengkritik Presiden Menurut Islam
4. Dilarang membunuh
Setiap demonstrasi pada dasarnya adalah ruang untuk menyuarakan aspirasi, bukan arena penumpahan darah. Larangan membunuh, dalam situasi apa pun termasuk saat aksi massa, adalah garis merah yang tidak boleh dilanggar.
Begitu nyawa melayang, tujuan mulia perjuangan akan ternodai dan kehilangan legitimasi moral. Karena itu, menjaga keselamatan jiwa menjadi fondasi utama agar demonstrasi tetap damai dan bermartabat.
Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah: 32. Allah Swt berfirman:
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَ ۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًا ۗوَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ
“Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas. Namun, banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.”
Dalam Tafsir al-Maraghi, Imam Ahmad Musthafa Al-Maraghi menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan betapa sucinya nyawa manusia. Membunuh satu jiwa tanpa alasan yang sah sama dengan membunuh seluruh umat, karena dampaknya bukan hanya pada korban, tetapi juga memicu ketakutan dan kekacauan sosial.
Sebaliknya, menyelamatkan satu nyawa setara dengan menjaga kehidupan banyak orang, sebab dari satu individu bisa lahir generasi dan peradaban. Pesan ini menegaskan bahwa segala bentuk perjuangan, termasuk demonstrasi, harus menghindari kekerasan yang merenggut nyawa karena justru merusak nilai dan tujuan mulia yang diperjuangkan.