Ikhbar.com: Sekelompok pemuda menumpuk karung-karung berisi pasir. Mereka menatanya mirip pintu atau penanda jalur masuk di dua jarak cukup berjauhan. Dengan telanjang kaki dan kemampuan seadanya, mereka pun mulai memainkan sikulit bundar buatan berbahan kain yang dipadatkan.
Dari gawang tumpukan pasir yang ditata di lahan gersang itu, kemudian masyhurlah sepak bola di tanah Qatar. Klub-klub bermunculan, hingga mampu menjadikannya sebagai tuan rumah perhelatan sepak bola dunia hari ini, FIFA World Cup 2022.
Sejarawan asal Jerman, Ben Weinberg dalam Asia and the Future of Football (2017) menyebut, klub sepak bola tertua di Qatar bernama Al Najah Sport Club yang dibentuk pada 1950. Sedangkan kompetisi yang pertama kali digelar adalah turnamen Izz al-Din dengan dorongan sponsor dari sejumlah perusahaan minyak di semenanjung kecil di Jazirah Arab, Asia Barat.
Sejarah sepak bola di Qatar seiring sejalan dengan perjalanan maju-mundurnya negara tetangga Saudi Arabia tersebut. Dalam tulisan berjudul Qatari Merchant Explains Life Before The Oil (2010), Dustin Senger menyebut Qatar sebagai negeri yang pada mulanya hanya berisi warga miskin dan lapar.
“Ekonomi awal masyarakatnya, bergantung pada panen mutiara air asin tanpa henti” tulis Senger, dikutip Senin, 21 November 2022.
“Nelayan yang tak kenal takut, seringkali menghilang di tengah perairan karena terseret hiu. Mereka pun tak peduli penyakit yang disebabkan penyelaman laut dalam yang berulang menggunakan batu yang diikatkan ke kaki mereka” sambung dia.
Nahasnya, memasuki era 1920-an, perdagangan mutiara yang menjadi andalan mereka pun ambruk. Warga Qatar kian terjebak kemiskinan, kekurangan gizi, dan diserang wabah. Baru di dekade berikutnya, bangsa Barat yang memiliki hobi baru berburu minyak berdatangan. Mereka pun mengendus masa depan Qatar yang lebih cerah.
Di pengujung 1932, Anglo-Persian Oil Company (APOC), yang kemudian dikenal sebagai perusahaan minyak asal Inggris, British Petroleum mengirim dua orang ahli geologi, E.W. Shaw dan P.T. Cox, ke Qatar. Lewat observasi yang dilakukan dari Januari hingga Maret 1933, keduanya menemukan bahwa antiklin Dukhan di Qatar tenggara memiliki kesamaan dengan bidang penemuan minyak di Bahrain.
Harrison Jacobs dalam How Qatar Got so Rich so Fast (2015) menuliskan, usai penemuan kilang minyak yang berlimpah itu, warga Qatar pun mulai merasakan manfaatnya.
“Mereka menjadi warga negara yang makmur dan sejahtera. Bahkan hari ini, pendapatan dari minyak dan gas membuat pendapatan per kapita rata-rata di Qatar mencapai lebih dari USD98,800, jauh melampaui Amerika Serikat atau Inggris sendiri,” tulis Jacobs.
Kembali ke obrolan sepak bola, pada 1950-1951, sebuah perusahaan minyak Petroleum Development Qatar menggelar turnamen bertipe liga yang kemudian dijuarai Dukhan Sports Club. Kemeriahan kompetisi itu lantas menjadikan pemerintah setempat mendirikan induk persepakbolaan bernama Qatar Football Association.
Pada 1969, Qatar mulai serius membangun kemampuan sumber daya manusia (SDM) timnas mereka. Timnas pilihan itu terus berlatih dan bertanding di Doha Sports Stadium, stadion pertama dan satu-satunya di Qatar yang dibangun pada 1962.
Qatar mendaftar sebagai anggota Fédération Internationale de Football Association (FIFA) pada 1970 dan langsung diterima di tahun yang sama. Hingga lambat laun, kemajuan sepak bola Qatar agak susah diragukan. Bahkan, hingga ia menjadi tuan rumah kompetisi sepak bola dunia dengan upacara pembukaan yang menyuguhkan banyak kemewahan, semalam.