Oleh: Ustaz Agung Firmansyah (Direktur Utama Ikhbar.com)
“TIDAK sempurna keimanan bagi orang yang tidak amanah dan tidak sempurna agama seseorang bagi yang tidak memenuhi janji.” (HR. Ahmad).
Konsep amanah dalam Islam sangat relevan dengan peran kepemimpinan yang diemban oleh seorang imam. Prabowo Subianto, dengan nama besar dan posisinya, dapat dianalogikan sebagai sosok yang diharapkan mampu menunaikan amanat “noto negoro,” yakni mengatur dan menata negara dengan baik dan benar.
Dalam tradisi Islam, amanah merupakan landasan utama yang ditekankan para ulama, serta dicontohkan para khalifah terdahulu. Amanah kekuasaan harus dipandang sebagai tanggung jawab besar untuk menjaga keadilan dan kemaslahatan rakyat.
Secara etimologis, amanah bermakna sesuatu yang dipercayakan dan harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
Baca: 3 Ciri Pemimpin Adil menurut Al-Ghazali
Amanah rakyat, amanah Tuhan
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan pentingnya amanah dalam setiap peran kepemimpinan, baik sebagai pemimpin negara, keluarga, maupun masyarakat. Amanah tak hanya berkaitan dengan tanggung jawab moral, tetapi juga bersifat vertikal, atau hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu” (QS. An-Nisa: 58).
Hadis Nabi Muhammad Saw pun menegaskan urgensi amanah. Siapa pun yang diberi kepercayaan, akan dimintai pertanggungjawaban. Ini sejalan dengan apa yang ditekankan dalam banyak kitab klasik, bahwa kepemimpinan bukanlah sebuah hak istimewa, melainkan beban moral yang harus dijalankan dengan keadilan.
Contoh-contoh teladan dalam Islam, seperti Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab menunjukkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang rela mengorbankan diri demi kebaikan umat. Abu Bakar, misalnya, dalam pidatonya yang terkenal setelah dilantik sebagai khalifah, berkata:
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik, bantulah aku, dan jika aku berbuat salah, luruskanlah aku.”
Ini adalah wujud kepemimpinan yang berlandaskan amanah dan kerendahan hati.
“Noto negoro” dalam tradisi Jawa juga sarat akan amanah. Kepemimpinan yang baik adalah yang menjaga keseimbangan antara kuasa dan tanggung jawab, adil dalam menegakkan hukum, dan berintegritas dalam setiap kebijakan.
Khazanah pesantren, seperti Al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi, juga menegaskan pentingnya keadilan dan amanah dalam pemerintahan. Di dalamnya dijelaskan bahwa penguasa harus menjamin terciptanya kesejahteraan rakyatnya.
Baca: Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 247: Kriteria Pemimpin Baru
Tantangan dan relevansi di era modern
Dalam konteks dunia modern, tantangan memegang amanah semakin kompleks, terutama dalam dunia politik. Di era globalisasi, dengan segala dinamika dan kepentingan, menjaga amanah menjadi kian sulit.
Para pemimpin sering kali dihadapkan pada tekanan ekonomi, politik, serta sosial, yang terkadang membuat prinsip amanah terabaikan. Namun, ajaran Islam tetap relevan untuk membantu para pemimpin menjaga komitmen moral mereka.
Kepemimpinan Prabowo sebagai Presiden RI diharapkan menjadi refleksi dari konsep “noto negoro” yang Islami. Sosok Prabowo sebagai figur publik dan tokoh politik tentu memiliki beban amanah yang besar di pundaknya.
Rakyat berharap bahwa dalam perannya, Prabowo mampu menjaga integritas dan keadilan, sebagaimana amanah yang digariskan dalam Al-Qur’an dan tradisi Islam. Prabowo harus mampu menjadi pemimpin yang tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga menjaga keadilan dan kebajikan.
Amanah adalah inti dari kepemimpinan yang baik. Sebagai seorang pemimpin, Prabowo diharapkan mampu menegakkan nilai-nilai ini dalam setiap langkah kebijakannya, sehingga mampu mewujudkan prinsip “noto negoro” yang Islami, adil, dan berintegritas. Amanah bukanlah sekadar janji kosong, melainkan sebuah tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
“Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu. Kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu.” (HR. Muslim).[]